Tuesday, June 28, 2011

Alkitab Bahasa Bugis

Catatan dari Konferensi Regional LAI di Toraja, mengenai Alkitab Bahasa Bugis dan Bahasa Makassar:

1. Y. Lamarang: Alkitab bahasa daerah (Bugis dan Makassar) menumpuk di kantor Sinode dimakan rayap, tidak tahu mau diapakan lagi ...
2. Armin Sukri: Alkitab bahasa Bugis tidak dimengerti kaum muda; bahasanya dari generasi kakek saya ...
3. Z. Ngelow: warga Kristen orang Bugis apa jumlahnya sampai lima ribu orang (Armin Sukri: antara seribu - dua ribu orang saja). Sementara itu bahasa Selayar akan terbit. Jadi tumpukan baru?

4. Armin Sukri: terjemahan kata membaptis dalam bahasa Bugis tidak cocok?
Kis 1:5

(Bugis) Saba' Yohanés maccemméi sibawa uwai, iyakiya siyagangngaré essonapa ricemméko matu sibawa Rohna Allataala.
(Makassar) Nasaba' je'ne' napake Yohanes anje'nekko, mingka tasalloami anne nulanije'ne' siagang RohNa Allata'ala.
(Toraja) belanna iatu Yohanes undio' uai tau, apa iate kamu te tae'mora nasangapa mididio' Penaa Masallo'
(Indonesia) Sebab Yohanes membaptis dengan air, tetapi tidak lama lagi kamu akan dibaptis dengan Roh Kudus.


Catatan:

Alkitab ke dalam bahasa Bugis dan bahasa Makassar diterjemahkan oleh B.F. Matthes (mulai 1848, terbit 1900). Revisi dilakukan oleh alm Pdt. Y. Tahir Sompe (Bugis); alm Pdt. D. Dg. Pasare (Makassar).

Saturday, June 18, 2011

Perkunjungan Pembinaan ke Klasis Selayar.

Catatan Harian oleh Pdt. Ike Ngelow

Jumat, 20 Mei 2011
Jam 03.00 dini hari saya dijemput mobil APV pa sekum & pa Libert . Dari NTI kami masuk kota jemput Ibu Lucy dan dua orang teman dari Hok Im Thong. Nanti ditengah jalan baru berkenalan dan tau nama mereka adalah : 1. Ev Pier, tugas di Makassar. Dan Pdt. Sambon tugas di Bandung. Mobil kami meluncur ke Tanjung Bira dan tiba jam 10.00. tapi kapal ferry yang mau kami tumpangi belum ada. Setelah istirahat sebentar urus tiket dan nomor antrean mobil, kami keluar lagi cari makan di restoran dekat pelabuhan. Kami ber-6 pesan nasi, ikan bakar, dan sayur ca kangkung ditamba es kelapa muda pake gula merah. Sementara kami makan kapal ferrynya uda sandar di dermaga. Selesai makan kami segera naik mobil dan meluncur ke dermaga, mobil kami kena nomor antrean 11 dan merupakan mobil paling terakhir masuk di ferry. Syukur mobil kami tidak ditolak atau digeser ke ferry putaran ke-2, yang sore baru brangkat. Selama 2 jam kami berlayar, diantar sedikit angin dan ombak ferry yang kami tumpangi dengan selamat tiba dan sandar di pelabuhan Pamatata Selayar. Dari situ kami masih 2 jam lagi dengan mobil ke kota Benteng, di tengah jalan sudah ada telepon dari pendeta jemaat Masese Baji, mengundang kami untuk makan siang di pastori jemaat. Makan siang yang enak nasi santan ditemani ikan bakar dan udang goreng dengan sambel terasi eennaakk. Pdt Lucy tidak turut makan karena dia langsung pulang ke rumahnya. Dia mengambil waktu untuk siarah ke makam orang tuanya dan sekalian ketemu lepas rindu dengan keluarga dan saudara2nya di kota benteng selayar. Selesai makan saya permisi mandi, sesudah itu kami pamit dan jemput ibu Lucy. Dua teman dari Hok Im Thong tinggal di kota Benteng, kami ber-4 cabut ke jemaat binanga benteng untuk bermalam dan mempersiapkan acara untuk pembinaan besok. Sampe di Binanga Benteng makan lagi. Sesudah itu baru kami berpencar dibagi kerumah-rumah jemaat. Sehari sebelum kami datang sudah ada rombongan yayasan mattepe, rupanya ada kunjungan kerja di selayar, jadi kami ketemu dan bergabung dengan rombongan mereka. Sambil menunggu juga rombongan ibu-ibu 9 orang yang menumpang bus dengan kapal penyebrangan ferry yang ke-2 jam 17.00 Mereka tiba malam di benteng. Dan bermalam di Benteng di rumah pendeta Andareas Ngaseng. Kami tinggal di rumah kosong, rumah ibu Kumalla mertuanya bapak Abidin Ato. Hari pertama saya berdua dengan ibu Lucy. Malam kedua tambah teman Pdt. Kamaneng dan Ibu Mety Simatupang. Kami berempat kuasai rumah kosong, dan hebatnya rumah masyarakat tidak dikunci, seharian dibiarkan terbuka tapi terjamin aman.

Sabtu, 21 Mei 2011.
Pagi sesudah Sarapan di gereja, datang rombongan ibu-ibu dari lima jemaat terdekat, yaitu dari : Jemaat Barang-barang, jemaat Tongke-tongke, jemaat Turungan, jemaat bahorea + Pariangan dan jemaat tuang rumah Binanga. Pada saat yang bersamaan tiba juga rombongan Ibu-ibu komisi wanita dan PW Mattiro Baji.
Setalah semua sudah kumpul di gedung gereja Binanga, maka acarapun dimulai oleh MC ibu Mety sekretaris komisi wanita GKSS menjelaskan seluruh rangkaian susunan acara pembinaan Setengah hari. Tersusun sebagai berikut :
1.Ibadah Pembukaan singkat oleh Pdt Ike Ngelow.
Menyanyi bahasa selayar (hari ini harinya Tuhan)

Alo ini [2X] Alo na Karaeng [2X], Mae ngase [2X] a te’ne te’ne [2X]
Alo ini, Alo na Karaeng, Mae ngase a te’ne te’ne
Alo ini alo ini alo na Karaeng.


Baca firman dari Mazmur 18 : 47 – 49. renungan pendek tentang Tuhan hidup.
Nyanyi satu lagu dari KJ 397 Terpuji Engkau Allah maha kuasa. Dan berdoa. Ibadah selesai. Dilanjutkan dengan sambutan tunggal oleh MPS-GKSS, yang disampaikan oleh Pdt. Lucy sekaligus membuka dengan resmi acara pembinaan.

2. Ceramah HIV & AIDS fasilitator dari yayasan Mattepe : Ibu Mintje dan Bpk Fredy Pinontoan. Presentase materi lewat penjelasan dan tayangan gambar pada in focus. Jelas dan menarik tapi tidak ada yang bertanya.

3. penjelasan penggunaan Alkitab dengan metode membaca Alkitab secara baru. Fasilitator ibu Mety Simatupang, akan dilanjutkan oleh pendeta Klasis dengan metode paket A. Secara bertahap dan bersambung. Karena itu kepada peserta dititip atau ditinggalkan bahan copy sebagai bahan ajar.

4. Sharing pengalaman dengan ibu2 PW tentang bagaimana kegiatan ibu-ibu dalam jemaat masing-masing. Dari hasil diskusi kami mendapat kesan bahwa :
A. kelompok atau wadah PW kurang aktif. Ada kegiatan ibadah PW dari rumah ke rumah tapi tidak berjalan setiap minggu, tergantung permintaan.
B. Perayaan hari raya gerejawi seperti Paskah atau Natal tidak mereka rayakan di tiap-tiap PW jemaat, tetapi perayaan dipusatkan di pusat Klasis.
C. Bila musim panen atau musim menanam susah untuk mengumpulkan anggota untuk beribadah.
D. Masalah yang serius adalah tentang anak-anak mereka yang melanjutkan ke sekolah madrasah, terpaksa harus ikut belajar agama Islam, dan berpengaruh pada nilai agama mereka, anak-anak diberikan nilai agama Islam. Sekolah menolak tidak menerima nilai agama yang diberikan dari pihak gereja. Dan ini sangat berpengaruh dan memprihatinkan karena biasanya anak-anak itu dikemudian hari beralih keyakinan ke agama islam. Itu merupakan masalah di klasis selayar.

5. Praktek membuat kue, fasilitator Pdt. Ike Ngelow. Peserta diajar membuat kue agar-agar dari sirup lemon ABC. Dengan bahan yang sederhana dan muda didapat di pulau Selayar.

6. Anak-anak kecil kelompok Sekolah Minggu dikumpul sendiri dan yang menjadi tenaga pengajar adalah Pdt. Kamaneng, ibu Ace Nibaeli dan ibu Nes Paulus.

7. Acara pembagian bingkisan [buku tulis dan alat tulis] dari PW Jemaat Mattiro Baji, didahului dengan ucapan salam dari ibu ketua PW Ibu Makhis Zainudin. Dilanjutkan dengan penyerahan bingkisan VCD dan beberapa kepingan CD FILM agama kepada klasis Selayar, yang diserahkan oleh Pdt Libert Simatupang dan diterima oleh Ketua Klasis Bpk. Pdt Des [Pendeta jemaat Binanga].

8. Doa Penutupan acara oleh Pdt. Kamaneng. Peserta berfoto bersama. Sesudah itu sebelum bubar peserta menikmati es kelapa muda dan kue sebagai suguhan penutup

Karena acara selesai sore jam 16.00 kami masih punya banyak waktu untuk jalan-jalan dan berenang di laut. Maka 2 mobil segera meluncur ke ujung selatan jemaat barang-barang, kami ke pelabuhan penyebrangan Ferry jurusan Timor – Kupang hanya menegok sebentar lalu kami kembali ke pantai Tongke-tongke. Disitu kami berenang menikmati indahnya pantai pasir putih. Kami mandi sampai matahari terbenam, sempat kami menyaksikan indahnya sunset baru kami pulang. Semua pulang tanpa spul, dengan baju basah naik mobil ke binanga. Setelah selesai bersih-bersih kami kumpul lagi untuk makan malam, sesudah itu kembali ke rumah masing-masing untuk istirahat capee de.

Minggu, 22 Mei 2011.
Pagi sesudah sarapan lima pendeta berpencar ke 5 jemaat untuk melayani ibadah minggu.
1. Pdt Yulianus Lamarang, STh [sekum GKSS] melayani di jemaat Barang-barang.
2. Pdt. Libert Simatupang, MTh [komisi ajaran] melayani di jemaat Tongke-tongke
3. Pdt. Ike Ngelow, STh [Komisi Pembinaan] melayani di jemaat Turungan
4. Pdt. Kamaneng, STh [Komisi Wanita ] melayani di jemaat Bahorea
5. Pdt Lusiana Sulle, MTh [Wakil Ketua GKSS] melayani jemaat Binanga benteng.
6. Ibu Ace & ibu Nes Paulus [komisi wanita] mengajar Sekolah Minggu di binanga.

Ibu-ibu yang lain membagi diri ikut kelompok yang ada. Sedangkan Kelompok Yayasan Matepe kembali ke kota benteng pagi-pagi. Waktu ke jemaat Turungan, saya dibonceng motor gadis bisu, Jaedah namany. Anak dari pnt Patang. Bpk Pdt. Des ngajar SM sesudah itu baru saya pimpin ibadah, gereja kecil tapi penuh jemaat, saya hitung yang hadir 16 orang. 12 orang tua dan 4 anak muda. Pembacaan dari kitab Yesaya 49:8-16. Selesai Ibadah saya ngomong dengan jemaat, ada seorang pemuda yang sudah kerja di mall Maricaya namanya Arman dia pegawai di Restoran KFC dia tinggal di Ratulangi dengan temannya, setiap minggu ikut gereja di GT. Si Arman bertanya dan berdiskusi dengan saya tentang buku yang dia baca. Buku itu berjudul ”Doktrin Tritunggal” dia sempat menunjukkan bukunya pada saya, dari percakapan kita, kemudian baru saya tau bahwa buku itu adalah bukunya aliran saksi yehova. Saya hanya bisa menasehati dan peringati Arman, supaya hati-hati dalam memili buku bacaan agama. Saya anjurkan agar arman ikut gereja GKSS di jemaat Makkio baji atau di jemaat syaloom. Ya karena kami hanya sebentar ketemu, jadi saya tidak bisa berbuat banyak dengan jemaat turungan teristimewa dengan nak arman. Pulang saya dibonceng Pnt. Samuel kembali ke binanga benteng yang merupakan sentra pos tempat semua kelompok kumpul. Sambil menunggu teman-teman dari jemaat sekitar kembali dari ibadah untuk makan siang bersama jemaat, kami benahi barang-barang untuk siap kembali ke benteng. Sesudah makan rombongan ke-2 pamit, mohon diri untuk pulang; dengan menumpang mobil APV meluncur kembali ke kota bentang. Rombongan ke-3 ibu-ibu komisi wanita masih menunggu mobil jemputan untuk membawa mereka ke kota benteng. Tiba di Benteng kami masuk wisma Pemda PKK disitu kami nginap semalam. Saya sekamar lagi dengan Ibu Pdt. Lucy. Rombongan yang lain nginap di wismanya Pendeta Andareas. Sore jam 17.00 semua rombongan kumpul lagi di gereja Masese Baji kota benteng untuk ikuti acara Ibadah Peneguhan Pdt. Yunus Zagoto dari gereja Hok Im Tong. Nats khotbah sulungnya Roma 10: 14-15, menekankan pentingnya kesaksian dalam pelayanan gereja. Turut menumpangkan tangan 8 orang pendeta GKSS 3 wanita dan 5 laki, serta 1 Pendeta dari Hok Im Tong Bandung, yang sekaligus mewakili gerejanya untuk menyampaikan sambutan, sedangkan dari GKSS diwakilkan oleh Bpk F.E Pinontoan. Sesudah ibadah acara dilanjutkan dengan ramah tamah makan bersama jemaat benteng. Setelaha seluruh acara selesai, MPS-GKSS masih mengambil waktu untuk rapat dengan pendeta klasis selayar. Saya dan ibu Etha pulang duluan ke penginapan, kami mampir bli ole-ole emping selayar untuk teman-teman di makassar. Bu Etha temani saya ceritra di kamar sambil tunggu Pendeta.Lucy. Supaya tidak buang waktu saya juga bereskan kopor untuk berangkat besok subu. Datang teman-teman kami ke lobi cerita sambil minum milo panas dan makan kue, teman lain {bapa2} main domino sambil tunggu-tunggu jam untuk jalan dengan mobil ke pelabuhan ferry pamatata. Masih dini hari jam 3.30 rombongan ferry sudah cabut meluncur ke dermaga untuk buruan nomor antean, karena hari senin katanya hanya 1 ferry yang jalan. Jadi mereka harus buruan supaya tidak ketinggalan ferry.

Senin, 23 Mei 2011.
Pagi sekali saya telepon cucu kami yang pertama Cordelia di Tangerang. Hari ini dia memperingati HUT ke-5 th. Katanya mau rayakan di sekolah dengan teman-teman. Tuhan sayang. Masih pagi jam 7.30 kami 3 ibu Etha, Pdt. Lucy dan saya Cek out dari penginapan tanpa sarapan pagi, jemput 2 teman Hok Im Tong lalu ber5 ke bandara selayar Aroeppala, kami diantar oleh keluarga bapak Oei Ten Soei. Tiba di bandara pesawat yang kami mau tumpanggi belum datang. Setelah menunggu sekitar 25 menit muncul pesawat kecil berwarna putih. Itulah pesawat yang kami tunggu-tunggu. Jam 8.30 pesawat CN 212 dengan jumlah penumpang 14 orang take off meninggalkan selayar menuju kota makassar. Kami terbang dalam cuaca yang indah walaupun pesawatnya agak ribut/brisik selama hampir 45 menit, dan dengan tuntunan Tuhan kami tiba dan mendarat dengan selamat di bandara lama lanut hasanudin makassar.Kami tunggu dilandasan selama hampir 15 menit barulah datang bus angkasapura untuk menjemput kami dan membawa ke bandara baru. Disana sudah menunggu Adi dan penjemputnya ibu lucy. Setelah mengambil barang rombongan kami 5 orang bubar berpencar masing-masing pulang ke rumahnya ke tempatnya. Teman-teman lain masih berlayar menyebrang dengan ferry. Rombongan 2 mobil dan 5 orang yang naik bus penumpang, semuanya tiba dengan selamat di makassar pada hari yang sama, namun berbeda waktunya.
Demikianlah rangkaian kisah dan ceritera dari perjalanan pelayanan perkunjungan 3 hari di Klasis Selayar. Syukur dan Trima kasih kepada yang kuasa Tuhan yang empunya pekerjaan, yang sudah berkenan. Trima kasih untuk Jemaat dan keluarga, sehingga semua tugas bole dilaksanakan. Tuhan memberkati.

Friday, June 17, 2011

Injil di Sulawesi Selatan (bagian I)

Dikumpulkan dari berbagai sumber oleh Zakaria Ngelow

Raja-raja Bugis masuk Kristen (abad ke-16)

Sejumlah penguasa kerajaan di Sulawesi Selatan pada abad ke 16, pernah dibaptis masuk Kristen, antara lain penguasa kerajaan Tallo, Suppa, Siang (Pangkajenne), Bacukiki, Alitta, Gowa. Penyebaran agama Katolik di Sulawesi-Selatan oleh Portugis, yang datang dari Malaka menuju ke daerah Ajatappareng dan Suppa lalu ke Siang (Pangkajenne). Injil masuk ke Gowa dari Ternate pada tahun 1539, sementara ke Ajattapareng, Suppa dan Siang, tahun l534.

Kristenisasi raja-raja Bugis/Makassar dimulai dengan kedatangan seorang pedagang Portugis, Antonio de Paiva yang tertarik pada kekayaan daerah Indonesia Timur, khususnya kayu cendana. Mula-mula Antonio datang ke Siang, kemudian singgah di Suppa. Pada kesempatan itulah penguasa di Suppa dan Siang dibaptis setelah perdebatan teologis yang hangat.

Tahun 1537 raja Gowa mengirim suatu perutusan kepada Antonio Galvao, panglima Portugis di Ternate, untuk meminta perlindungan terhadap Ternate. Di Ternate 2 pangeran Makasar dibaptis. Sekembalinya ke Makasar mereka mengadakan propaganda untuk agama Kristen, dan banyak berhasil, sehingga meminta imam Katolik dari Ternate.
Tetapi oleh serangan angin taufan, kapal yang membawa 2 orang imam itu berlabuh di Filipina dan bukan di Makasar. Baru 6 tahun kemudian sebuah kapal Portugis tiba lagi di Makasar untuk memuat kayu cendana. Pada kesempatan itu raja Supa dan raja Siang (dekat Pare-pare) dibaptis. Apa alasan kedua penguasa ini mau dibaptis masuk agama Katholik? Kemungkinan untuk membuat persekutuan militer dalam menghadapi serangan kerajaan kembar Gowa dan Tallo. Di kisahkan, ketika Antonio de Paiva kembali ke Malaka, ikut serta utusan dari kedua penguasa ke Malaka untuk meminta Gubernur Malaka mengirimkan imam Katolik ke Suppa dan Siang dan jika mungkin bantuan militer. Bahkan ikut pula serta dua putra penguasa dari Suppa. Kedua pemuda itu, kemudian dibawah ke Eropa.

Mendengar permintaan kedua penguasa di Sulawesi Selatan itu, misionaris Katolik yang terkenal, Franciscus Xaverius, berangkat ke Malaka dan dari sana ia mau ke Suppa, tapi batal, karena di terjadi perang antara Wajo dan Sidenreng. Sidenreng bersekutu dengan Suppa dan Siang. Sebelumnya sudah datang pastor Vicente Viegas dari Malaka, dan dialah yang membaptis penguasa Alitta dan Bacukiki.

Kekristenan di Suppa, Siang, Alitta dan Bacukiki berakhir karena seorang perwira Portugis (Juan de Eredia) membawa lari seorang putri penguasa Suppa. Orang-orang Portugis buru-buru meninggalkan Suppa dan membawa putri penguasa Suppa tersebut ke kapal. Anak blasteran putri penguasa Suppa dengan perwira Portugis itu bernama Manuel Godinho de`Eredia, ibunya juga diberi nama Portugis, Donna Ele’na Vesiva. Manuel Godinho menjadi seorang terpelajar, ia menjadi penulis dan ahli geografi. Dialah yang pertama kali menyebut adanya pulau di sebelah selatan Timor yang kemudian dikenal sebagai Australia.


Gereja Katolik di Makassar
Tahun 1525 pertama kali Makassar disinggahi 3 pastor misionaris asal Portugal (Pastor Antonio dod Reijs, Cosmas de Annunciacio, Bernardinode Marvao, dan seorang bruder). Namun baru pada 1548 Pastor Vincente Viegas datang dari Malaka dan tinggal menetap di Makassar untuk melayani para saudagar Portugis yang Katolik. Tercatat Raja Gowa ke-13, Tepu Daeng Parabung Karaeng Tunipasulu masuk Kristen (1590). Setelah memeluk agama Islam Raja-raja Gowa tetap memberi kebebasan kepada orang-orang Katolik mendirikan gereja (1633). Atas dukungan Sultan, Karaeng Pattingaloang, tokoh kerajaan Tallo yang juga seorang intelektual banyak bekerja sama dengan misionaris Katolik, juga dalam bidang ilmu pengetahuan

Dari catatan sejarah, pada tahun 1560 ada sekitar 50.000 orang Katolik di pulau-pulau Nusantara bagian timur. Setelah Malaka jatuh ke tangan VOC (1641) 40 imam dan sekitar 20.000 orang Katolik diperintahkan meninggalkan Malaka; sekitar 3.000 orang dan beberapa Pastor pindah ke Makassar (1649).

Demi monopoli dagang VOC (perjanjian Batavia, 19 Agustus 1660) mengharuskan Sultan Hasanuddin mengusir semua orang Portugis dari Makaasar (1661); tetapi Sultan mengatur dengan baik keberangkatan orang-orang Portugis itu, dan atas bantuan Sultan baru pada 1665 Pastor Antonio Francesco, pastor terakhir meninggalkan Makassar, dan Bruder Antonio de Torres yang mengasuh suatu sekolah kecil untuk anak laki-laki baru meninggalkan Makassar pada 1668 karena pecahnya perang Gowa melawan Belanda. Sejak itu selama 225 tahun, tidak ada pastor yang menetap di Makassar, orang-orang Katolik yang masih ada, hanya sekali-sekali dilayani dari Surabaya atau Larantuka.

Pada tahun 1892, Pastor Aselbergs, SJ, dipindahkan dari Larantuka menjadi Pastor Stasi Makassar (7 September 1892) dan tinggal pada suatu rumah mewah di Heerenwerg (kini Jl. Hasanuddin). Tahun 1895 di beli tanah dan rumah di Komedi straat (kini Jl. Kajaolalido), yang adalah tempat gedung gereja Katedral sekarang. Gereja dibangun pada tahun 1898 selesai 1900; direnovasi dan diperluas pada tahun 1939, selesai pada 1941 dengan bentuk seperti sekarang.

Pada tanggal 19 Nopember 1919 dibentuk Prefektur Apostolik Sulawesi, misionaris Jesuit diganti oleh misionaris MSC, dengan Mgr. Vesters sebagai prefek yang berkedudukan di Manado. Pada tanggal 13 April 1937 wilayah Sulawesi Selatan dan Tenggara dijadikan Prefektur Apostolik Makassar oleh Sri Paus di Roma, dan dipercayakan kepada misionaris CICM, dengan Mgr. Martens sebagai prefek. Pada tanggal 13 mei 1948 menjadi Vikariat Apostolik Makassar, dan tanggal 3 Januari 1961 menjadi Keuskupan Agung Makassar, sampai sekarang


Bonthain, Bulukumba, Selayar (abad ke-19)

Sesudah keruntuhan VOC. pada akhir abad ke-18, hanya terdapat seorang pendeta saja di Makasar, yaitu pendeta Van der Dussen. Selain di Makasar, yang merupakan pusat pekerjaan di Sulawesi-Selatan, ia juga harus melayani Bonthain, Bulukumba dan Salayar. Tahun 1820 pendeta-sending Buttenaar ditempatkan di Makasar, lalu berturut-turut: tahun 1825 pendeta Van Laren; pendeta Lammers van Toorenburg, 1837 pendeta Hardy; dan 1839 pendeta Toewater. Sebelum berangkat ke Indonesia Toewater mempelajari bahasa-bahasa Indonesia dan setibanya di Makasar belajar bahasa Makasar dan bahasa Bugis. Sampai pada waktu itu bahasa Makasar dan bahasa Bugis masih terlampau sedikit dipelajari oleh orang-orang Eropa. Pada masa pemerintahan Raffles (1811-1816) Dr. Leyden, seorang ahli bahasa, telah menterjemahkan sebagian dari Perjanjian Baru ke dalam bahasa Makasar dan bahasa Bugis.

Dari Makasar Toewater banyak mengadakan perjalanan ke pedalaman dan karena itu ia juga banyak mempunyai hubungan dengan penduduk di Sulawesi Selatan, terutama dengan para kepala suku. Tahun 1843 ia dipindahkan ke Semarang. Untuk melanjutkan pekerjaannya di bidang penerjemahan Kitab Suci di Sulawesi-Selatan, Lembaga Alkitab Belanda (NBG) memutuskan untuk mengutus Dr Matthes, yang menjabat sebagai wakil-direktor NZG (badan zending Belanda), ke Sulawesi Selatan.

Matthes melaporkan kepada NZG bahwa di Bonthain dan di Bulukumba terdapat 2 Jemaat kecil yang sangat terlantar. Jemaat-jemaat itu, yang ia kunjungi pada tahun 1849, terdiri dari 200-300 anggota (= orang-orang Indo: keturunan orang-orang Belanda yang kawin dengan wanita-wanita Makasar dan Bugis). Pada masa VOC Bonthain dan Bulukumba -- di samping Makasar -- merupakan pos-pos militer yang penting. Banyak prajurit Belanda di situ kawin dengan wanita-wanita Makasar (dan Bugis): oleh perkawinan itu timbul suatu "persekutuan Indo", yang merupakan inti dari Jemaat-jemaat yang berada di situ. Ketika Van Rhijn, sebagai inspektor NZG pada tahun 1847 mengunjungi Bonthain, ia menerima surat dari pendeta Van Hengel -- yang dari tahun 1843-1847 bekerja di Makasar -- bahwa pemberitaan firman di antara orang-orang Makasar mempunyai harapan baik, karena mereka, "tidak memusuhi agama Kristen". Berdasarkan surat itu NZG menerima usul Matthes dan pada tahun 1851 ia mengambil keputusan untuk memulai pekerjaannya di Sulawesi Selatan. Sebagai pendeta-sending pertama untuk daerah itu NZG menunjuk Donselaar yang pada waktu itu bekerja di Timor ke Sulawesi-Selatan

Pada bulan Mei 1852 Donselaar tiba di Sulawesi Selatan dan memilih Bonthain sebagai tempat-tinggal. Di situ ia mendapati suatu Jemaat kecil yang terdiri dari "orang-orang Indo" dan prajurit-parjurit pribumi: semuanya kira-kira 100 orang. Ia mulai mengorganisir ibadah, katekisasi dan pengajaran sekolah. Pekerjaan di situ tidak begitu mudah, bukan saja karena anggota-anggota Jemaat tidak mengetahui apa-apa tentang agama Kristen, tetapi terutama karena hidup kesusilaan mereka sangat buruk. Di antara 20 anak, yang ia baptis pada tahun 1853, hanya ada satu anak saja yang "tidak lahir di luar nikah". Di samping pekerjaannya di Jemaat, ia juga mempersiapkan diri untuk pekerjaannya yang sebenarnya di antara orang-orang Makasar.

Pada permulaan tahun 1854 datang lagi 2 pendeta-sending baru, yaitu Rooker dan Goudsward. Rooker ditempatkan di Bulukumba, yang mempunyai suatu Jemaat kecil dengan 61 anggota. Tetapi tidak lama sesudah itu ia dipindahkan ke Tondano (= Minahasa). Goudswaard diberi tugas untuk memimpin sekolah di Bonthain (untuk "anak-anak Indo"), sehingga Donselaar dapat menggunakan seluruh waktunya untuk pekerjaan Jemaat, baik di Bonthain, maupun di Salayar.

Di Salayar ia mendapati suatu Jemaat kecil -- yang terdiri dari 47 orang Indo -- dalam keadan yang sangat buruk. Di situ tidak ada sekolah untuk anak-anak. Pengetahuan anggota-anggota jemaat tentang agama Kristen nihil: sama-sekali tidak ada. Hidup kesusilaan mereka sangat memalukan. Menurut peraturan Gereja pada waktu itu Salayar termasuk daerah pelayanan Jemaat di Makasar. Tetapi karena jauh sekali letaknya, ia jarang dikunjungi.

Sementara itu Donselaar dan Goudswaard terus berusaha mempelajari tanah, bahasa dan adat-istiadat orang-orang Makasar. Menurut mereka penduduk di situ tidak malas, tetapi "tidak begitu bersih dan lekas marah". Banyak di antara mereka suka berjudi dan menjadi "budak candu“, suka mencuri, suka membalas dendam, dan lain-lain. Secara resmi tidak ada perbudakan di situ, tetapi ada orang yang hidupnya tidak lebih baik daripada budak. Penduduk menganggap dirinya beragama Islam, sungguhpun demikian mereka banyak menyembah berhala dan menganut percaya yang sia-sia. Mereka benar beragama Islam, tetapi mereka tidak tahu apa-apa tentang agama itu: banyak diantara mereka minum-minuman keras (= alkohol) dan makan daging babi. Superstisi terdapat di mana-mana. Karena itu ia sangsi apakah pekerjaannya di Sulawesi-Selatan akan ada manfaatnya.

Pada tahun 1855 Jemaat di Bonthain mendirikan sebuah gedung-gereja kecil dengan bantuan uang dari pemerintah. Keadaan Jemaat berangsur-angsur menjadi baik. Sungguhpun demikian Donselaar dan Goudswaard tidak begitu puas. Mereka ingin lekas-lekas mulai dengan pekerjaan mereka yang sebenarnya: memberitakan Firman kepada penduduk prbumi. Tetapi masih banyak rintangan yang mereka hadapi. Pertama: mereka belum cukup menguasai bahasa daerah. Kedua: waktu untuk mempelajari bahasa daerah (= bahasa Makasar) sangat terbatas, karena dalam pekerjaan mereka di Jemaat, mereka harus menggunakan dua bahasa: bahasa Melayu dan bahasa Belanda. Ketiga: "jalan-masuk" ke dalam dunia penduduk pribumi -- karena rupa-rupa sebab -- masih tertutup. Karena itu sambil menunggu, mereka melanjutkan pekerjaan mereka dalam Jemaat, yang sementara itu telah sedikit bertambah besar. Pada tahun 1856 Jamaat Bonthain telah mempunyai 180 anggota, di antaranya 56 anggota sidi. Juga sekolah, yang dipimpin Goudswaard, bertambah besar: jumlah muridnya telah meningkat menjadi 48 orang

Antara Matthes dan kedua pendeta-sending itu (= Donselaar dan Goudswaard) ada kontak dan kerjasama. Matthes tinggal di Makasar, sedang Donselaar dan Goudswaard jarang ke sana. Tetapi salinan dari bahan-bahan yang telah selesai disusun oleh Matthes, biasanya ia berikan kepada mereka. Dalam pekerjaan misi, mereka mencapai beberapa persetujuan: Pertama: Mereka setuju, bahwa Bonthain dan Bulukumba adalah tempat-tempat-tempat yang baik, tetapi keberatannya ialah: "adanya orang-orang Eropa di situ adalah reklame yang buruk" untuk pekerjaan Sending. Kedua: Mereka setuju dengan pendeta-sending Jellesma, bahwa jemaat Eropa adalah suatu beban yang berat bagi seorang pendeta-sending. Jemaat yang demikian dapat merupakan suatu pusat dan contoh yang baik, kalau "buah-buah Sending dapat dimasukkan ke dalamnya". Tetapi biasanya Jemaat-jemaat Indo merupakan "hambatan" bagi pekerjaan Sending. Makasar, menurut mereka, sama-sekali tidak cocok sebagai "pangkalan" pekerjaan Sending. Ketiga: Mereka juga setuju, bahwa bahasa yang harus dipakai dalam pekerjaan Sending bukan bahasa Melayu, tetapi bahasa Makasar: bahasa Makasar kaya akan kiasan-kiasan, sehingga mudah menarik perhatian pendengar-pendengar. Dalam pekerjaan ini dianjurkan supaya dipakai traktat-traktat yang akan disiapkan dalam bahasa Makasar.

Berdasarkan percakapan itu Donselaar (pada tahun 1858) menyusun dan mencetak suatu traktat dalam bahasa Makasar, yang memuat: Dasafirman; teks Yo 3:16: "Kasihilah Allah lebih dari segala sesuatu dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri"; Mazmur 1 dan doa Bapa Kami. Traktat itu segera disita oleh Gubernur di Makasar dan hal itu merupakan langkah pertama dari larangan untuk bekerja memberitakan Injil di antara penduduk pribumi. Tindakan Gubernur itu sangat mengherankan baik Donselaar, maupun Pengurus NZG di Belanda. Mereka protes. Tapi gubernur menolak permintaan Donselaar untuk ber-PI. Alasannya ialah: karena "orang-orang Makasar dan orang-orang Bugis adalah orang-orang Islam yang sangat fanatik, sehingga pekerjaan Sending di antara mereka dapat menimbulkan gangguan keamanan".


Indische Kerk di Makassar

Antara tahun 1910-1927 pendeta-pendeta Indische Kerk di jemaat Makassar dan Bonthain giat melakukan PI di wilayah-wilayah utara Sulawesi Selatan (Tana Toraja, Mamasa). Mereka manfaatkan kesempatan yang terbuka setelah penaklukan Belanda atas kerajaan-kerajaan Sulawesi Selatan untuk menginjil (dan membendung penyebaran Islam). Pdt. R.W.F Kijftenbelt (1865-1952) di Makassar dan Pendeta bantu Jonathan Kelling (1861-1922) yang bertugas di Bonthain (dan kemudian di Luwuk) membaptis di Makale (murid-murid sekolah), dan Mamasa (secara masal) Mereka juga mendirikan sekolah-sekolah dengan guru-guru dari Ambon dan Minahasa

Jemaat (Gemeente) didirikan dengan Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada tanggal 17 Oktober 1852. Jemaat ini merupakan bagian dari De Protestantsche Kerk in Nederlandsch Indie (Gereja Protestan Hindia Belanda) atau biasa disingkat "Indische Kerk". Pendeta gereja ini digaji oleh pemerintah dan demikian juga anggaran-anggaran lainnya untuk keperluan gereja disediakan oleh pemerintah.

Pada tanggal 15 September 1885, pendeta J.C Knuttel meresmikan pemakaian gedung gereja yang telah dibangun kembali, gedung ini resminya bernama "Prins Hendriks Kerk" (Gereja dari Pangeran Hendrik) namun umumnya disebut "Protestantsche Kerk" (Gereja Protestan) atau "Grote Kerk" (Gereja Besar), yang kemudian dikenal dengan nama "Gereja Immanuel".

Setelah reorganisasi Indische Kerk, jemaat Makassar menjadi jemaat GPIB. Pada tahun 1967 diputuskan untuk membagi jemaat di Makassar, yang wilayah pelayanannya sudah terlalu luas ini, menjadi 4 jemaat, yaitu : Jemaat Immanuel, Jemaat Bukit Zaitun, Jemaat Bethania dan Jemaat Mangngamaseang. Pada tahun 1983, Jemaat GPIB di Makassar bertambah satu lagi yaitu Jemaat Bahtera Kasih sehingga seluruhnya menjadi 5 jemaat.


B.F. Matthes

B.F. Matthes lahir tahun 1818, studi teologi dan sastra Semitik, 1848-1870 utusan NBG ke Sulawesi Selatan, 1876-1879 Direktur sekolah guru di Makassar; menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Makassar dan Bugis (PB 1887, PL 1900), menyusun Tata Bahasa (1858) dan Kamus (1859) bahasa Makassar dan Tata Bahasa Bugis (1879). Meninggal tahun 1908.


Pada tahun 1864 terbit hasil yang pertama dari pekerjaan Matthes: Injil Matius, baik dalam bahasa Makasar, maupun dalam bahasa Bugis. Tetapi penerimaan Injil di antara orang-orang Makasar dan orang-orang Bugis tidak menggembirakan. Sungguhpun demikian Lembaga Alkitab Belanda tidak mau menghentikan pekerjaannya di Sulawesi-Selatan.

Karena rupa-rupa sebab -- Lembaga Alkitab Belanda untuk sementara menghentikan pekerjaan penterjemahan Kitab Suci dalam bahasa Makasar dan bahasa Bugis. Dan, dengan persetujuan Matthes, ia mengusulkan kepada pemerintah, supaya pemerintah mendirikan sebuah lembaga pendidikan di Sulawesi-Selatan dengan Matthes sebagai pemimpin. Usul itu disetujui oleh pemerintah dan pada tahun 1873 ia memutuskan untuk mendirikan sebuah Sekolah Guru di Makasar dan untuk mengangkat Matthes sebagai direkturnya (1875-1880).

Pada tahun 1887 seluruh Perjanjian Baru selesai diterjemahkan (dalam bahasa Makasar dan bahasa Bugis) dan dicetak. Sesudah itu ia mulai dengan penterjemahan Perjanjian Lama dan sekalipun ia sudah sangat tua pada waktu itu, ia dapat menyelesaikannya pada akhir 1900. Dalam laporan Lembaga Alkitab Belanda tentang pekerjaannya selama tahun 1900 a.l. dikatakan: "Sesudah 50 tahun lamanya bekerja, Dr Matthes menyelesaikan penterjemahan seluruh Kitab Suci, baik dalam bahasa Makasar, maupun dalam bahasa Bugis".

Salah satu jasa penting Matthes adalah publikasi studi bahasa dan kebudayaan Bugis dan mengumpulkan naskah-naskah Lontara’, termasuk La Galigo.


Kemah Injil

Albert Benyamin Simpson (1843-1919), mendirikan The Christian and Missionary Alliance (C&MA) di New York, karena memberi perhatian pada para gelandangan – peminta-minta, pemabuk, pelacur, dan penganggur – sering tampak berkeliaran di sekitar gedung-gedung gereja yang mewah. Simpson merasa prihatin melihat mereka dan juga beberapa lingkungan di kota besar itu, yang penduduknya tidak pernah mengunjungi gereja mana pun. Simpson memberitakan Injil kepada mereka dan berhasil memenangkan beberapa orang di antaranya.

Ketika ia mengusulkan kepada Badan Pengurus Jemaat, agar sekitar 100 orang kristen baru ini diterima sebagai anggota resmi, usulnya itu ditolak. Alasan yang diberikan adalah bahwa orang-orang kristen baru ini berasal dari golongan masyarakat rendah.
Simpson mulai menyadari betapa sulitnya mencapai orang banyak kalau ia tetap berada di gerejanya. Setelah bergumul dalam doa selama satu minggu, Simpson akhirnya memutuskan untuk meminta izin keluar dari keanggotaan gerejanya dan menjadi penginjil lepas.

Yang paling penting bagi Simpson ialah PENGINJILAN, bukan pembangunan. Ia berpendapat, lebih baik dana yang ada dipakai untuk mengirim utusan-utusan Injil ke pelosok-pelosok bumi, ke tempat-tempat yang belum mendengar tentang Yesus Kristus daripada membangun rumah ibadat yang megah.
Inilah dasar pemikiran Simpson mendirikan dua buah rumah ibadat yang disebut kemah (tabernacle), Broadway Tabernacle (1876) di Louisville, dan the Gospel Tabernacle (1888) di New York. Dari sinilah asal-usul nama Kemah Injil atau the Gospel Tabernacle. Di New York, Simpson mengajarkan Injil Empat Berganda – yang sekarang menjadi Logo GKII yang mengandung makna: Yesus Juruselamat, Yesus Pengudus, Yesus Tabib, dan Yesus Raja yang akan datang (the Four Fold Gospel: "Jesus our Savior, Sanctifier, Healer, and Coming King".)


Robert Alexander Jaffray (1873-1945) seperti A.B. Simpson. Keduanya sama-sama keturunan Skotlandia, berkebangsaan Kanada, lahir dan dibesarkan dalam keluarga kristen, anggota Gereja Presbiterian. Keduanya juga sama-sama telah mendapat penglihatan khusus mengenai dunia – orang-orang yang belum percaya Yesus dan bertindak berdasarkan penglihatan mereka itu sehingga melalui pelayanan mereka, di kemudian hari beribu-ribu orang bertobat dan menerima Yesus Kristus sebagai Juruselamatnya.

Sejak dilantik menjadi utusan Injil pada tahun 1896, Jaffray melayani di Tiongkok Selatan selama kurang lebih 32 tahun; Jaffray mendirikan Chinese Foreign Mission Union (CFMU); berhasil menanam Gereja; membangun sekolah Alkitab yang berpusat di Wuchouw dan membangun lembaga penerbitan khususnya untuk komunitas yang berbahasa Kanton (Cantonese). Jaffray mulai perjalanannya ke Indonesia (kepulauan Hindia Belanda) dan menjejakkan kakinya di Borneo (Kalimantan) pada tanggal 10 Februari 1928 untuk mengadakan survey sekaligus memberitakan Injil.

Setelah kembali ke Tiongkok Selatan, maka untuk mewujudkan kerinduan Jaffray akan pelayanan dan tuaian yang sangat besar di Indonesia, terutama pelayanan yang diawalinya di Kalimantan – kota Samarinda dan Balikpapan. Pada bulan Februari 1929, Jaffray membawa dua hamba Tuhan yang diutus oleh CFMU, suatu organisasi penginjilan yang didirikan oleh Jaffray di Tiongkok Selatan yaitu: Yason S. Linn dan Paul R. Lenn – mereka adalah tamatan dari Wuchow Bible School - untuk membantu pelayanan yang dimulainya di kalangan orang Tionghoa di Kalimantan Timur dan kota Makassar, Sulawesi Selatan.

R.A. Jaffray menyadari bahwa pelayanan C&MA di Indonesia tidak dapat berkembang hanya dengan diawasi dari jauh. Karena itu, Jaffray memutuskan untuk menetap di Indonesia. Visi Jaffray untuk Indonesia sudah bulat yaitu menjangkau Indonesia melalui Penginjilan, Pendidikan dan Penerbitan.

Untuk menetapkan pusat pelayanan yang tepat, Jaffray segera mempelajari peta. Ia melihat bahwa kota pelabuhan Makassar sangat strategis secara geografis. Jaffray membayangkan kota itu seperti sebuah poros roda yang jari-jarinya kelak memancarkan terang Injil ke seluruh pelosok nusantara atau tanah air Indonesia. Akhirnya, pada bulan September 1930, Jaffray pindah ke Makassar dan menetapkan Makassar sebagai Pusat C&MA atau Kemah Injil yang pertama. Kantornya di rumah kediaman Jaffray sendiri, di Jalan Daeng Tompo No. 8. Di tempat inilah Jaffray meletakan fondasi dan mengembangkan ”sayap Injil” – ke seluruh Indonesia – dari Sabang di Sumatera sebelah barat sampai ke Merauke di Irian Jaya (Papua) sebelah timur.

(bersambung ….)

Monday, June 13, 2011

MPS GKSS: Pesan HUT GKSS 45 dan HUT PI GKSS 78

PESAN MAJELIS PEKERJA SINODE – GEREJA KRISTEN SULAWESI SELATAN
PADA PERINGATAN HARI ULANG TAHUN GKSS KE 45 - 12 JUNI 2011-
DAN HARI PEKABARAN INJIL KE 78 TANGGAL 19 JUNI 2011

Seluruh warga Gereja Kristen Sulawesi Selatan, yang kami kasihi dalam nama Tuhan Yesus Kristus,

Kita patut memanjatkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Besar, atas pertolongan-Nya. Hari ini 12 Juni 2011, kita rayakan Hari Ulang Tahun GKSS ke-45, bertepatan dengan hari Pentakosta, peristiwa Pencurahan Roh Kudus - hari yang bersejarah bagi umat Kristiani di seluruh dunia. Peristiwa Pencurahan Roh Kudus kiranya membawa makna yang sungguh berarti bagi kita semua.
Sejak berdirinya GKSS, 45 tahun yang lalu , tidak kecil ombak dan angin yang menghantam bahtera GKSS, namun kita percaya pada janji Firman Tuhan dalam Matius 12:20 bahwa “Buluh yang patah terkulai tidak akan diputuskan-Nya, dan sumbu yang pudar nyalanya tidak akan dipadamkan-Nya, sampai Ia menjadikan hukum itu menang.”
Sampai sekarang GKSS masih ada dan tetap melayani di negeri ini, karena itu kami berharap seluruh warga GKSS dapat menyatakan perannya masing-masing dan menjadikan GKSS sebagai ‘tanah perjanjian’ yang diberikan Tuhan untuk berkarya dan mengabdikan diri, seperti kata pepatah yang mengatakan “Di mana bumi di pijak di situ langit di junjung”. Semoga kita sebagai warga gereja yang diutus dalam wilayah pelayanan GKSS, memperoleh kekuatan dalam menjalankan tugas pengutusan kita selanjutnya, bagi kemuliaan nama-Nya.

Saudara-saudara yang kami kasihi di dalam Tuhan Yesus,

Setiap kali kita memperingati HUT Gereja, kita patut mengenang pemimpin, pelayan Tuhan, dan seluruh warga gereja yang dengan visi yang jelas, telah berjuang tanpa pamrih dan meletakkan landasan yang kokoh bagi keberlangsungan pelayanan . Mereka telah mengorbankan banyak hal, termasuk nyawa mereka bagi pelayanan, sehigga GKSS sebagai gereja Tuhan tetap mampu berdiri dari pesisir selatan kepulauan Selayar, yakni desa Barang-barang hingga pesisir utara Propinsi Sulawesi Barat/Mamuju, yakni Jemaat Maranatha-Toabo dan Jemaat Keang. Tentu kita semua percaya sesuai dengan janji Tuhan, bahwa jerih payah mereka dalam Tuhan tidak sia-sia (1 Kor 15:58). Kiranya perjuangan mereka dalam Tuhan akan terus memotivasi kita yang sedang hidup dan melayani di GKSS.

Menurut data statistik yang dihimpun pada Rapat Tahunan Majelis Sinode (RTMS) 2011 -, GKSS telah mencapai 6 Klasis dan 1 klasis perwakilan, di 8 kabupaten/kota, 41 jemaat ditambah 1 bakal jemaat pelayanan, dengan tenaga pelayan sebanyak 31 orang pekerja aktif dengan jumlah anggota jemaat sebanyak 5.854 jiwa.” Jumlah ini mungkin kecil, tetapi jika kita bersatu dan saling mendukung maka kita dapat melakukan sesuatu yang besar untuk kemuliaan nama Tuhan.

Pada kesempatan peringatan Ulang Tahun ke-45, kami ingin menghimbau kepada semua pemimpin Gereja Kristen Sulawesi Selatan pada semua aras, untuk mengingat tugas dan tanggung jawab kita semua sebagai gereja dengan:
1. Melaksanakan ketentuan Tata Gereja dan Peraturan Gereja GKSS dengan konsekuen.
2. Melaksanakan semua keputusan Persidangan Sinode XV tahun 2010 dan Ketetapan Rapat Tahunan Majelis Sinode tahun 2011 yang diselenggarakan pada semua tingkatan.

Melalui momentum Hari Ulang Tahun ke 45 ini, perkenankan kami menyampaikan pokok-pokok perhatian kita ke depan dan mohon dukungan seluruh warga Gereja Kristen Sulawesi Selatan:
1. Kami menghimbau kepada seluruh warga GKSS di mana dan apa pun peran dalam Gereja untuk memberikan partisipasi aktif dalam rangka eksisnya GKSS di masa kini dan masa mendatang.
2. Sesuai dengan keputusan Persidangan Sinode XV 2010 dan Ketetapan RTMS 2011, perhatian dan pergumulan kita sebagai Gereja secara Sinodal adalah pada nilai-nilai bersekutu, yakni Kemitraan Jemaat. Kemitraan jemaat merupakan satu-satunya solusi yang ditempuh dalam menghadapi dan menanggulangi kondisi penggajian para Pelayan di GKSS. Kami memberikan apresiasi kepada jemaat-jemaat yang telah dan setia melaksanakan program kemitraan ini, sambil kami juga berharap jemaat-jemaat yang lain dapat mengembangkan potensi-potensi diri dalam rangka kelanjutan pelayanan di masa mendatang.
3. Sambil kita memberi perhatian secara internal, kami juga menghimbau warga GKSS agar tetap membangun komunikasi secara intensif dengan pemerintah dan elemen masyarakat dan hidup berdampingan demi terpeliharanya toleransi dan kerukunan hidup bersama di bumi Pancasila ini. Kebersamaan dengan semua elemen masyarakat diperlukan dalam rangka membangun sikap peduli pada masalah-malasah sosial dan lingkungan hidup.

Pada akhirnya, kami ucapkan limpah terima kasih untuk semua bentuk dukungan dari semua pihak, baik dari perorangan, jemaat, dan klasis yang memungkinkan pekerjaan pelayanan Tuhan dapat berjalan dan diberkati hingga kini.

Teriring salam dan doa.

Majelis Pekerja Sinode – GKSS

Pdt. Maays Elisyah Baura,S.Th. Ketua
Pdt. Luciana S. Laoh,M.Teol. Wakil Ketua
Pdt. Yulianus Lamarang,S.Th. Sekretaris
Freddy Erenst Pinontoan,MBA Wakil Sekretaris
Oei Tiong Sui Bendahara
Osben Sinaga Anggota
Pdt. Yohanis Lampung,S.Th. Anggota

Mengapa Kata “Allah” dan “TUHAN” dipakai dalam Alkitab Kita?

Pengantar

Kata “Allah” masih dipersoalkan oleh sebagian pengguna Alkitab terbitan Lembaga Alkitab Indonesia (LAI). Persoalan ini mencuat ke permukaan, karena ada beberapa kelompok yang menolak penggunaan kata “Allah” dan ingin menghidupkan kembali penggunaan nama Yahweh atau Yahwe. Dalam teks Ibrani sebenarnya nama Yahweh atau Yahwe ditulis hanya dengan empat huruf konsonan (YOD-HE-WAW-HE, “YHWH”) tanpa huruf vokal. Tetapi, ada yang bersikeras, keempat huruf ini harus diucapkan. Terjemahan LAI dianggap telah menyimpang, bahkan menyesat­kan umat kristiani di tanah air. Apakah LAI yang dipercaya gereja-gereja untuk menerjemah­kan Alkitab telah melakukan kesalahan yang begitu mendasar? Di mana sebenarnya letak persoalannya? Penjelasan berikut bertujuan untuk memaparkan secara singkat pertimbangan-pertimbangan yang melandasi kebijakan LAI dalam persoalan ini.

Mengapa LAI menggunakan kata “Allah”?
Dalam Alkitab Terjemahan Baru (1974) yang digunakan secara luas di tanah air, baik oleh umat Katolik maupun Protestan, kata “Allah” merupakan padanan ’ELOHIM, ’ELOAH dan ’EL dalam Alkitab Ibrani:

  • Kej 1:1 “Pada mulanya Allah (’ELOHIM) menciptakan langit dan bumi”.
  • Ul 32:17 “Mereka mempersembahkan kurban kepada roh-roh jahat yang bukan Allah (’ELOAH).
  • Mzm 22:2 “Allahku (EL), Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku?”

Dari segi bahasa, tidak dapat dipungkiri, kata ’ELOHIM, ’ELOAH dan ’EL berkaitan dengan akar kata ’L, dewa yang disembah dalam dunia Semit kuno. EL, ILU atau ILAH adalah bentuk-bentuk serumpun yang umum digunakan untuk dewa tertinggi. Umat Israel kuno ternyata memakai istilah yang digunakan oleh bangsa-bangsa sekitarnya. Apakah hal itu berarti bahwa mereka penganut politeisme? Tentu saja, tidak! Umat Israel kuno memahami kata-kata itu secara baru. Yang mereka sembah adalah satu-satunya Pencipta langit dan bumi. Proses seperti inilah yang masih terus bergulir ketika firman Tuhan mencapai berbagai bangsa dan budaya di seluruh dunia.

Beberapa kelompok yang menolak kata “Allah” memang ber­pendapat, kata itu tidak boleh hadir dalam Alkitab umat kristiani. Ada yang memberi alasan bahwa “Allah” adalah nama Tuhan yang disembah umat Muslim. Ada pula yang mengait­kannya dengan dewa-dewi bangsa Arab. Seandainya pendirian ini benar, tentu ’EL, ’ELOAH dan ’ELOHIM pun harus dicoret dari Alkitab Ibrani! Lagi pula, beberapa inskripsi yang ditemukan pada abad keenam menunjukkan bahwa kata “Allah” telah digunakan umat kristiani Ortodoks sebelum lahirnya Islam. Hingga kini, umat kristiani di negeri seperti Mesir, Irak, Aljazair, Yordania dan Libanon tetap memakai “Allah” dalam Alkitab mereka. Jadi, kata “Allah” tidak dapat diklaim sebagai milik satu agama saja.

Kebijakan LAI dalam menerjemahkan ’ELOHIM, ’ELOAH dan ’EL sama sekali bukan hal baru. Terjemahan Alkitab yang pertama ke dalam bahasa Yunani sekitar abad ketiga SM. merupakan contoh tertua yang kita miliki. Terjemahan yang dikenal dengan nama “Septuaginta” dikerjakan di Aleksandria, Mesir, dan ditujukan bagi umat Yahudi berbahasa Yunani. Dalam Kejadian 1:1, misalnya, Septuaginta meng­guna­kan istilah THEOS yang biasa dipakai untuk dewa-dewa Yunani. Nyatanya, Perjanjian Baru pun memakai kata yang sama, seperti contoh berikut: ”Terpujilah Allah (THEOS), Bapa Tuhan kita Yesus Kristus” (2 Kor 1:3). Tentu, THEOS dalam kutipan ini tidak dipahami sebagai sembahan politeis.

Kata “Allah” dalam sejarah penerjemahan Alkitab di nusantara

Sebelum Alkitab TB-LAI diterbitkan pada tahun 1974, telah ada beberapa Alkitab dalam bahasa Melayu yang merupakan cikal bakal bahasa Indonesia. Injil Matius terjemahan A. C. Ruyl (1629) adalah upaya pertama dalam penerjemahan Alkitab di nusantara. Menariknya, dalam terjemahan perdana ini, kata “Allah” telah digunakan, seperti contoh berikut: “maka angkou memerin’ja nama Emanuel artin’ja Allahu (THEOS) ſerta ſegala kita” (Mat 1:23). Terjemahan selanjutnya juga mempertahankan kata “Allah”, antara lain:

  • Terjemahan Kitab Kejadian oleh D. Brouwerius (1662): “Lagi trang itou Alla ſouda bernamma ſeang” (Kej 1:5).
  • Terjemahan M. Leijdecker (1733): “Pada mulanja dedjadikanlah Allah akan ſwarga dan dunja” (Kej 1:1).
  • Terjemahan H.C. Klinkert (1879): “Bahwa-sanja Allah djoega salamatkoe” (Yes 12:2).
  • Terjemahan W.A. Bode (1938): “Maka pada awal pertama adalah Firman, dan Firman itu bersama-sama dengan Allah”.

Seperti tampak pada contoh-contoh di atas, kata “Allah” yang baru belakangan ini dipersoalkan oleh sebagian umat kristiani telah digunakan selama ratusan tahun dalam terjemahan-terjemahan Alkitab yang beredar di nusantara. Singkatnya, ketika meneruskan penggunaan kata “Allah”, tim penerjemah LAI mempertimbangkan bobot sejarah maupun proses penerjemahan lintas-budaya yang sudah terlihat dalam Alkitab sendiri.

Apa dasar kebijakan LAI dalam soal “YHWH”?

Harus diakui, asal-usul nama YHWH tidak mudah ditelusuri. Dari segi bahasa, YHWH sering dikaitkan dengan kata HAYAH ‘ada, menjadi’, seperti yang terungkap dalam Keluaran 3:14: “Firman Allah (’ELOHIM) kepada Musa: ‘AKU ADALAH AKU.’ (’EHYEH ’ASHER ’EHYEH). Lagi firman-Nya: ‘Beginilah kaukatakan kepada orang Israel itu: AKULAH AKU (’EHYEH) telah mengutus aku kepadamu.’” Maknanya yang persis tidak diketahui lagi, namun ada yang menafsirkannya sebagai kehadiran Tuhan yang senantiasa ‘ADA’ menyertai sejarah umat-Nya.

Apa dasar LAI menggunakan kata “TUHAN” (seluruhnya huruf besar) sebagai padanan untuk YHWH? Untuk menjawab ini, kita perlu memperhatikan sejarah. Umat Yahudi sesudah masa pembuangan amat segan menye­but nama sakral YHWH secara langsung oleh karena rasa hormat yang mendalam. Lagi pula, pengucapan YHWH yang persis tidak diketahui lagi. Setiap kali bertemu kata YHWH dalam Alkitab Ibrani, mereka menyebut ’ADONAY yang berarti ‘Tuhan’. Tradisi pengucapan ini juga terlihat jelas dalam Septuaginta yang menggunakan kata KYRIOS (‘Tuhan’) untuk YHWH, seperti contoh berikut: ”KYRIOS menggembala­kan aku, dan aku tidak kekurangan apa pun” (Mzm 23:1).

Ternyata, Yesus dan para rasul mengikuti tradisi yang sama! Sebagai contoh, dalam pen­cobaan di gurun, Yesus menjawab godaan Iblis dengan kutipan dari Ulangan 6:16: “Ada pula tertulis: Janganlah engkau mencobai Tuhan (KYRIOS), Allahmu” (Mat 4:7). Dalam kutipan ini tidak ditemukan nama YHWH melainkan KYRIOS. Jika nama YHWH harus ditulis seperti dalam teks Ibrani, mengapa penulis Injil Matius tidak mempertahankannya? Begitu pula, dalam surat-surat rasul Paulus tidak pernah digunakan nama YHWH. Dalam Roma 10:13, misalnya, Paulus mengutip Yoel 2:32: “Barangsiapa yang berseru kepada nama Tuhan (KYRIOS) akan diselamatkan”. Terbukti, kata yang digunakan adalah KYRIOS, bukan YHWH.

Mungkinkah Yesus dan para rasul telah mengikuti suatu tradisi yang “keliru”? Tentu saja, tidak! Para penulis Perjanjian Baru justru mengikuti tradisi umat Yahudi yang menyebut ’ADONAY (‘TUHAN’) setiap kali bertemu nama YHWH. Karena Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Yunani, kata KYRIOS dipakai sebagai padanan untuk ’ADONAY yang mencerminkan tradisi pengucapan YHWH.

Singkatnya, LAI mengikuti teladan Yesus dan umat kristiani per­dana menyangkut pengucapan YHWH. Dalam Alkitab TB-LAI, kata “TUHAN” ditulis dengan huruf besar semua sebagai padanan untuk ’ADONAY yang mengingat­kan tradisi pengucapan itu. Penulisan ini memang sengaja dibedakan ­dengan “Tuhan” (hanya huruf pertama besar), padanan untuk ’ADONAY yang tidak merepresentasi YHWH. Perhatikan contoh berikut: “Sion berkata: ‘TUHAN (YHWH) telah mening­gal­kan aku dan Tuhanku (’ADONAY) telah melupakan aku.’” (Yes 49:14). Pem­bedaan ini tentu tidak relevan untuk Perjanjian Baru yang tidak memper­tahankan penulisan YHWH.

Berbagai terjemahan modern juga mengikuti tradisi yang sama, misalnya, dalam bahasa Inggris: “the LORD” (New Jewish Publication Society Version; New Revised Standard Version, New International Version, New King James Version, Today’s English Version); Jerman: “der HERR” (Einheits­übersetzung; die Bibel nach der Übersetzung Martin Luthers); Belanda: “de HEER” (Nieuwe Bijbelvertaling); Perancis”: “le SEIGNEUR” (Traduction Oecumé­ni­que de la Bible).

Penutup

Kebijakan LAI mengenai padanan untuk nama-nama ilahi tidak diambil secara simplistis. Berbagai aspek harus dipertimbangkan dengan matang, antara lain:

  • Teks sumber (Ibrani dan Aram untuk Perjanjian Lama; Yunani untuk Perjan­jian Baru) dan tafsirannya.
  • Tradisi umat Tuhan dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.
  • Sejarah pemakaian nama-nama ilahi dalam penerjemahan Alkitab ke dalam berbagai bahasa dan budaya dari zaman ke zaman.
  • Kebijakan yang diikuti tim-tim penerjemahan Alkitab di seluruh dunia, khususnya yang bergabung dalam Perserikatan Lembaga-lembaga Alkitab se-Dunia (United Bible Societies).

Kesepakatan yang diambil bersama dengan gereja-gereja, baik Katolik mau­pun Protestan, yang menggunakan Alkitab terbitan LAI hingga saat ini. Menjelang penyelesaian Alkitab TB-LAI, misalnya, pada tahun 1968 diadakan konsultasi di Cipayung dengan para pimpinan dan wakil gereja-gereja dari berbagai denominasi. Dalam konsultasi ini, antara lain, disepakati agar kata “Allah” tetap digunakan seperti dalam terjemahan-terjemahan sebelumnya.

LAI tidak pernah berpretensi seolah-olah terjemahannya sudah sempurna dan tidak perlu diperbaiki lagi. Akan tetapi, mengingat proses panjang dan berhati-hati yang ditempuh dalam menerbitkan Alkitab, tuntutan beberapa kelompok yang ingin menyingkirkan atau memulihkan nama tertentu, tidak dapat dituruti begitu saja. Dalam semua proses pengambilan keputusan menyangkut terjemahan Alkitab, berbagai faktor harus dipertimbangkan dengan saksama menyangkut teks-teks sumber, tafsirannya, tradisi penerjemahan sampai dampaknya bagi persekutuan dan kesaksian umat Tuhan bersama-sama, khususnya di tanah air kita.

Akhirnya, dengan penuh kesadaran akan terbatasnya kemampuan manusia di hadapan Allah, kita patut mempersembahkan puji syukur kepada Dia yang telah menyatakan firman yang diilhamkan-Nya untuk mendidik orang dalam kebenaran dan memperlengkapi umat-Nya untuk setiap perbuatan baik (2 Tim 3:16-17). Dialah yang telah mempersiapkan orang-orang untuk menjelmakan firman kebenaran-Nya dalam aneka bahasa dan budaya dari masa ke masa. Segala sesuatu adalah dari Dia dan oleh Dia dan kepada Dia. Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya. [bfk]

Sumber: http://www.alkitab.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=69&Itemid=2

Monday, June 6, 2011

Surga masih bermakna

Pdt. E. G. Singgih
Perikop: Lukas 24:44-53.
Nas : Lukas 24:51, “Dan ketika Ia sedang memberkati mereka, Ia berpisah dengan mereka dan terangkat ke surga”.

Pendahuluan
Di dalam bahasa Yunani, kata untuk langit atau surga adalah ouranos, sedangkan dalam bahasa Ibrani, hasyamayim. Jadi kalau kepada orang-orang di jaman Alkitab ditanyakan apa itu langit, maka mereka akan menunjuk ke atas. Kalau ditanyakan apa itu surga, mereka juga akan menunjuk ke atas. Langit sama dengan surga, yang di atas itu. Dan bukan hanya orang beriman yang mengaku seperti itu, tetapi juga mereka yang lain, yang bukan Yahudi dan bukan Kristiani. Sederhana, tetapi juga sekaligus, mendalam. Dengan memaknai yang di atas itu sebagai surga, manusia mendapat idea mengenai keluasan, sehingga bisa memahami batas-batasnya. Dari situ muncul pemahaman mengenai cakrawala sebagai batas pemandangan manusia. Cakrawala itu dipahami sebagai benda, tetapi sekaligus sebagai simbol keterbatasan manusia. Dengan simbol itu manusia tahu siapa dirinya, dan tahu tempatnya di mana. Yang di atas itu langit tempat Yang Ilahi, yang di tengah itu bumi tempat manusia, dan yang di bawah itu, mboh, apa namanya terserah kek, itu tempat dari mereka yang tidak bisa digolongkan ke Yang Ilahi maupun manusia. Dengan demikian manusia bisa mengorientasikan dirinya, tidak hilang lenyap dalam keluasan…

Bagaimana kalau tidak ada surga?
Mungkin pertanyaan ini akan terasa aneh, tetapi baiklah saya membagikan pengalaman Alexander Solzhenytsin, pejuang hati nurani di Uni Sovyet pada jaman perang dingin dan pemenang hadiah Nobel untuk kesusasteraan. Di dalam salah satu novelnya dia menceritakan bagaimana dinyatakan sebagai musuh rakyat dan dipenjarakan oleh KGB di penjara Lubyanka di Moskwa. Berbagai penderitaan telah dialaminya, tetapi yang paling tidak tertahankan, yang membuat dirinya hampir gila adalah bahwa dia tidak bisa melihat langit. Sistem penjara di Lubyanka itu memang dibuat sedemikian rupa, sehingga seorang “zek” (istilah untuk tahanan politik) tidak bisa melihat langit. Di selnya tidak ada jendela atau lobang, di tempat appel tidak ada pemandangan ke luar, semua berlangsung di dalam ruangan, “di sini”, “di bawah”! Di jaman kuno, penjara disebut “dungeon”, letaknya di bawah tanah. Maka dunia bawah adalah termasuk dunia penjara yang gelap, dunia dari mereka yang bukan manusia. Kalau orang lain disapa sebagai “kamerad” (tovaritsy), maka penghuni dunia bawah, “zek”, tidak berhak disapa demikian. Ia hanya seorang “citizen” (warga biasa). Karena tidak ada idea mengenai keluasan, apa yang ada, “kini” dan “di sini” menjadi hal-hal yang dirasakan menghimpit, menjepit, mematikan. Orang kehilangan orientasinya.
Mengapa saya membagikan pengalaman Solzhenytsin ini? Oleh karena baru-baru ini di dunia maya beredar pendapat dari Stephen Hawking, fisikawan Inggris yang termasyhur, yang katanya adalah fisikawan yan paling brilyan sesudah Einstein. Hawking menyatakan bahwa surga tidak ada. Kata surga merupakan bagian dari perbendaharaan kata-kata nenek-nenek tua, pokoknya sebuah ungkapan yang sudah ketinggalan zaman. Cobalah lihat alam semesta yang amat luas ini, dengan tata surya yang lebih dari satu (berapa ya? 8, 12, 20? Ada berapa matahari di jagad raya ini?). Kalau begitu mana yang disebut “atas”? Mana yang disebut “bawah”? Ruang dan waktu berdimensi empat menurut Einstein. Nah dalam alam semesta berdimensi empat yang terus menerus meluas ini, mana langit? Mana surga?
Kalau kata surga tidak bermakna, bagaimana kita mau berbicara atau merayakan kenaikan Tuhan Yesus ke surge? Bagaimanakah kita mau menghayati ayat 51 dari bacaan Injil, yang menyebutkan bahwa “Ia berpisah dari mereka dan terangkat ke surga”?

Dua gambaran dunia atau kosmologi
Nah, sdr-sdr, saya kira kebanyakan dari kita tidak amat asing dan tahu juga mengenai gambaran alam semesta yang disebut oleh Hawking. Dari informasi yang begitu banyak mengenai susunan alam semesta, kita mempunyai sebuah gambaran kasar mengenai alam semesta seperti yang diberikan oleh IPTek modern kepada kita. Tetapi adanya gambaran kasar dari IPTek ini tidak menyebabkan kita menyingkirkan gambaran alam semesta yang tradisional, yang kita warisi dari nenek moyang (local beliefs) dan dari agama (universal religions). Gambaran tradisional itu telah menjadi bagian dari darah daging, menjadi sesuatu yang eksistensial, dan melewati batas-batas yang rasional. Ia telah mewujud menjadi pandangan dunia (worldview) dan menentukan orientasi kita, bahkan membantu untuk menentukan siapakah kita ini dan ada di mana kita sekarang. Gambaran eksisitensial ini tidak ilmiah atau ketinggalan zaman, tetapi tetap mengharukan, tetap membuat kita bersyukur bahwa kita masih hidup.
Cobalah jika sempat, anda pergi ke sebuah pulau yang tidak berpenghuni pada malam hari bulan purnama, ketika langit bersih dan ribuan bintang muncul di cakrawala. Anda membaringkan diri, terlentang di atas pasir sambil diam memandang bintang-bintang itu. Mereka menjadi amat dekat, dan rasanya bisa disentuh dengan jari telunjuk kita. Kita tahu sih bahwa bintang itu bukan bintang, mungkin asteroid, mungkin planet, dan kalau kita bisa lihat sekarang berarti sebenarnya planet itu sudah lama musnah menurut teori cahaya dari relativitas Einstein. Tetapi di pulau itu, bintang adalah “bintang kecil di langit yang tinggi” yang dinyanyikan oleh ibu-ibu kita sewaktu meninabobokan kita. Itu bukan sekadar kenang-kenangan dari masa kecil, tetapi kenang-kenangan yang membentuk realitas!
Andaikata Hawking mengalami penderitaan mental seperti Solzhenytsin, mungkin dia tidak mengeluarkan pernyataan yang negatif mengenai surga. Tetapi masalahnya adalah bahwa para ilmuwan kadang-kadang begitu kagum dengan gambaran alam semesta dari IPTek, sehingga melecehkan dan menyingkirkan gambaran dunia tradisional, yang sudah menjadi eksistensial tadi. Seperti dikatakan oleh Dr. Karlina Supelli, fisikawati Indonesia yang baru-baru ini tulisannya saya tanggapi, para ilmuwan tersebut lupa bahwa gambaran alam semesta atau kosmologi mereka tetaplah hanya sebuah gambaran kosmologi, dan bukan kosmologi! Di pihak lain, kaum beragama yang menjadi sasaran tembak dari Hawking dkk, yang ingin membela makna eksistensial dan religius yang terdapat pada gambaran kosmologi tradisional, lupa juga bahwa gambaran kosmologi tradisional itu hanya salah satu gambaran saja dan bukan kosmologi itu sendiri! Ada dari antara kaum beragama yang lalu “terpaksa” (atau sengaja?) menyangkal gambaran dunia IPTek dan mati-matian mempertahankan kosmologi tradisional sebagai yang benar. Kalau ditanya mengapa, jawabnya ya karena iman, karena Kitab Suci saya bilang begitu. Kalau dia membaca Karlina Supelli, dia akan menjawab bahwa karena itu “cuma” gambaran, dan bukan kenyataan, tanpa mempedulikan bahwa Karlina Supelli juga mengatakan hal yang sama mengenai kosmologi tradisional.

Memaknai surga dengan menggunakan gambaran IPTek
Seperti sudah dikatakan tadi, kita mempunyai gambaran kasar dari alam semesta menurut IPTek dalam benak kita. Tetapi di samping itu kita juga mewarisi gambaran alam semesta atau kosmologi dari nenek moyang dan dari agama, seperti yang sekarang menjadi bacaan yang harus kita renungkan mengenai kenaikan Tuhan Yesus ke surga. Gambaran tradisional ini tidak perlu disingkirkan, meskipun dianjurkan oleh orang sekaliber Hawking. Kalau kedua gambaran ini tidak kita pertentangkan, melainkan kita integrasikan di dalam penghayatan kita, maka kita akan mendapatkan dua pokok penting dari makna kenaikan Tuhan Yesus ke surga, yaitu A. Keluasan iman, dan B. Kedewasaan iman.
1. Keluasan Iman. Tuhan Yesus yang bangkit, berkuasa atas bumi dan langit, bahkan menurut surat Efesus yang kita dalam Epistel tadi, memenuhi seluruh alam semesta ini. Yesus bangkit dan naik ke surga. Sebelumnya turun ke dalam kerajaan maut. Yesus melintasi ketiga batas kediaman: dunia bawah, dunia tengah dan sekarang, dunia atas. Tetapi sekaligus Yesus adalah dia yang memenuhi keluasan alam semesta yang terus menerus meluas ini! Suasana yang kita dapatkan dalam bacaan kita adalah suasana perpisahan. Yesus berpisah dari murid-muridNya, tetapi perpisahan ini tidak mendukacitakan melainkan sebaliknya, mensukacitakan (ayat 52). Yesus adalah Tuhan yang berkuasa atas semua, bahkan melewati batas kediaman segala sesuatu. Kalau makna inti dari surga adalah keluasan, maka tidak soal apakah sekarang ada gambaran alam semesta yang sedemikian luasnya dengan sekian banyak matahari. Kalau orang di jaman Alkitab begitu terpesona dengan alam semesta sejauh yang mereka pelajari dari IPTek di zaman mereka dan bisa mengatakan, “Tuhan Yesus ada di situ!”, maka seyogyanya kita yang mendapat anugerah berupa gambaran alam semesta yang lebih luas dan lebih kompleks dari apa yang kita dapati di Alkitab itu, terlebih-lebih lagi, bisa bersukacita, dan juga bilang, “Tuhan Yesus ada di situ!”
Kenyataannya, cukup banyak fisikawan yang tidak mengambil kesimpulan seperti Hawking, melainkan meneruskan dan mentransfer gambaran tradisional yang telah menjadi eksistensial tadi ke dalam gambaran IPTek modern. Kalau Hawking menyimpulkan bahwa di alam raya yang maha luas ini cuma ada kita saja, orang lain bisa menyimpulkan bahwa ada kita, dan karena itu ada Tuhan. Atau kalau kita mau menggunakan logika agama, maka kita akan mengatakan ada Tuhan, karena itu ada alam raya dan kita yang termasuk dalam alam raya itu (dan juga yang lain, siapa tahu ada alien di tata surya yang jauh…).
1. Kedewasaan Iman. Kesukacitaan murid-murid mengandung sebuah aspek lain, yaitu kedewasaan iman. Perpisahan dengan Tuhan Yesus bukanlah sesuatu yang menyedihkan, melainkan menggembirakan, memantapkan para murid untuk memulai perjalanan mereka di dunia sebagai orang yang dewasa dalam iman. Kalau kita bersekolah menjadi murid, kita tidak bisa menjadi murid untuk selamanya. Pada suatu saat guru kita akan berkata kamu lulus, sudah punya cukup bekal untuk hidup. Guru akan minggir, dan dengan bangga membiarkan kita berjalan sendiri sebagai lulusannya. Bukan berarti hubungan sama sekali putus. Secara rohani kita sebagai murid akan selalu mengingatnya, dan pada saat-saat genting, kita teringat pada ajaran-ajarannya. Begitulah juga halnya dengan menjadi murid Kristus.
Masalahnya adalah bahwa makna kedewasaan iman murid Kristus itu sekarang tidak menjadi pokok yang penting dalam penghayatan iman. Coba saja perhatikan nyanyian-nyanyian gereja, misalnya “Ku tak dapat jalan sendiri” atau “Tiap langkahku diatur oleh Tuhan” dan banyak nyanyian lain. Maksudnya jelas dan betul, sebagai orang beriman kita harus bersumberkan Kristus sebagai Tuhan. Tetapi kalau tidak waspada, makna yang bagus ini bisa melenceng menjadi ketidakdewasaan dalam iman yang berjalan terus menerus. Kalau ku tak dapat jalan sendiri, ngapain Kristus memerintahkan murid-murid untuk bersaksi ke seluruh dunia dan menjadi garam dan terang? Kalau tiap langkahku harus diatur oleh Tuhan, kapan aku bisa belajar berjalan sendiri? Kita memang diangkat menjadi anak-anak Allah, tetapi menjadi anak-anak Allah tidak berarti menjadi kekanak-kanakan. Kalau secara metaforis, kita diajak untuk hidup murni seperti bayi yang ingin minum susu, maka itu tidak berarti bahwa beriman adalah menjadi seperti bayi yang maunya hanya minum susu…Mengapa terjadi begitu banyak masalah dengan orang-orang muda Kristiani di negeri kita, yang sebenarnya sangat sehat secara biologis dan secara mental dan intelektual sangat mantap, tetapi baru krisis sedikit aja, sudah panik dan bingung gak karuan? Ialah karena pendidikan agamanya mengajar dia untuk melecehkan semuanya itu. Anda harus menyingkirkan semuanya itu, supaya dengan demikian bisa memperoleh kekuatan luar biasa dari Roh Kudus…
Padahal kalau kita membaca akhir Injil Lukas, murid-murid telah diberkati oleh Tuhan mereka, dan pulang dengan sukacita. Dalam sukacita mereka terkandung pengharapan akan janji Tuhan, bahwa Roh Kudus akan datang. Dalam Kisah Rasul yang merupakan lanjutan Injil Lukas, Roh Kudus memang datang. Kalau kita lupa bahwa Kisah Rasul adalah lanjutan Injil Lukas, memang kita bisa jatuh dalam salah tafsir seperti tadi. Tetapi kalau kita sadar bahwa ada benang merah dari Lukas ke Kisah Rasul, maka karunia Roh Kudus merupakan pelengkap bagi tugas pelayanan para murid, yang sudah siap untuk melayani dalam iman yang dewasa. Karunia Roh Kudus itu tidak menihilkan persiapan-persiapan mereka yang sudah mereka peroleh dari pergaulan langsung mereka dengan Tuhan Yesus sebagai Guru Agung mereka.

Penutup
Kalau kita menyadari bahwa kenaikan Tuhan Yesus ke surga berhubungan dengan keluasan iman dan kedewasaan iman, maka perayaan kenaikan sebenarnya berkaitan dengan keberadaan kita manusia di dalam alam semesta ini. Seorang ilmuwan sekaligus rohaniwan Katolik abad 20, Teilhard de Chardin, yang semasa hidupnya disalahpahami oleh Gereja Katolik dan karya-karyanya dilarang untuk dibaca, memahami Kristus sebagai Alfa dan Omega. Sebenarnya ungkapan ini Alkitabiah bukan, sebab ada di kitab Wahyu pasal 21:6. Di tengah kesempitan penganiayaan, rasul Yohanes mendapatkan penglihatan di pulau Patmos mengenai Yesus yang adalah Alfa dan Omega. De Chardin meneruskan penglihatan itu kepada generasi masa kini. Karena Yesus adalah Alfa dan Omega, Yang Awal dan yang Akhir, hidup kita sebagai manusia tidak pernah tidak akan bermakna. Selamat merayakan hari kenaikan Tuhan Yesus ke surga!

------
Catatan: Pdt. Prof. Emanuel Gerrit Singgih, Ph.D. mahaguru teologi di UKDW Yogyakarta; pendeta GPIB. Almarhum ayahnya adalah salah seorang tenaga zending di Sulawesi Selatan, yang melahirkan GKSS.