Wednesday, May 30, 2012

Ibadah Konsolidasi Klasis Bulusaraung


Ibadah bersama pemuda se-klasis Bulusaraung atau yang biasa disebut ibadah konsolidasi untuk bulan Mei ini dilaksanakan di Jemaat Mattiro Baji, Mandai. Ibadah yang awalnya dijadwalkan pukul 15.00 dilaksanakan pada pukul 15.30 hanya dihadiri oleh tiga jemaat. Seharusnya ibadah ini dihadiri oleh 6 jemaat akan tetapi jemaat yang lain tidak hadir hingga ibadah ini berakhir. Beberapa jemaat, seperti Sambueja dan Sudiang menyatakan tidak dapat hadir karena berhalangan, sedangkan untuk Jemaat Kappang tidak ada pemberitahuan. Pada saat yang sama, Jemaat Sudiang mengalami kedukaaan, dikarenakan salah satu jemaat mereka meninggal dunia (Simon Mongan) yang juga merupakan Ayahanda dari rekan pemuda yakni Harun Mongan.

Ibadah yang dilaksanakan pada hari minggu tanggal 20 Mei 2012 ini dilayani oleh Pdt. Ike Ngelow, S.Th yang juga merupakan penghantar Jemaat Mattiro Baji GKSS. Pelayanan firman yang dilaksanakan tidak seperti biasanya, kali ini pengurus memutar sebuah film yang berjudul Tanda Tanya lalu dilanjutkan dengan diskusi yang dipimpin oleh Pdt Ike.  Film ini berkisah tentang bagaimana pluralisme di Indonesia dan bagaimana kita hidup di Negara Indonesia yang majemuk ini namun tetap menjunjung tinggi toleransi dan kebersamaan.  Film yang penuh makna ini mengundang banyak komentar-komentar dari teman-teman pemuda yang hadir saat itu.

Dalam ibadah ini Ketua Komisi Pemuda Klasis Bulusaraung, Lewi Maliku menyatakan bagaimana pentingnya saling menjaga kebersamaan namun tetap memegang jati diri kita sebagai anak-anak Tuhan. Ibadah ini ditutup dengan sambutan Ketua Komisi Pemuda Sinode GKSS, Yudhi Satria Pulo yang sekaligus berdoa untuk berkat jasmani yang akan diterima oleh seluruh hadirin.
Pada Kesempatan ini juga, kami dari segenap pengurus dan anggota Pemuda se-Klasis Bulusaraung turut berduka cita atas duka yang dirasakan oleh saudara, rekan, sahabat kami, Harun Mongan atas berpulangnya Ayahanda tercinta.  [YSP]

Catatan dari SeminarTata Gereja GKSS,



Dalam Seminar Tata Gereja GKSS tgl 25 Mei 2012 di Makassar, mengemuka beberapa pokok dalam presentasi dan diskusi. Berikut beberapa catatan

1.    Sistem presbiterial-sinodal bertumpu pada beberapa prinsip:
a.    Jemaat (gereja setempat) adalah wujud yang utuh dan lengkap gereja Tuhan di dalam dunia.
b.    Jemaat dipimpin oleh Majelis Jemaat, yaitu para pejabat yang dipilih/ditempatkan dalam jemaat itu. Para pejabat gereja meliputi penatua, diaken dan pendeta. Rapat Majelis Jemaat adalah lembaga tertinggi dalam jemaat.
c.    Jemaat-jemaat bersepakat untuk bergabung dalam satu sinode, yang dipimpin bersama oleh Majelis Gereja yang diperluas (=Majelis Sinode), yang dipilih oleh persidangan para utusan Majelis Jemaat yang tergabung (=Persidangan Sinode). Wewenang dan kewajiban Majelis Sinode ditentukan oleh Persidangan Sinode. Demikian pula pembentukan suatu Klasis oleh kesepakatan jemaat-jemaat, dengan wewenang dan kewajiban yang ditetapkan dalam persidangannya.
d.    Jemaat, Klasis dan Sinode bukan satuan-satuan keorganisasian yang berjenjang, melainkan menyangkut kewenangan dan kewajiban pelayanan yang lebih luas. Karena sifatnya sebagai Jemaat yang diperluas, maka personalia Majelis Pengurus Klasis dan Majelis Pengurus Sinode haruslah dipilih pejabat gereja. Personalia yang kemudian tidak lagi menjadi pejabat di jemaatnya dapat ditetapkan sebagai pejabat gereja (penatua atau diaken) ex-officio. 
2.    Jabatan gereja berdasar pada prinsip imamat am orang percaya. Seluruh warga gereja adalah imam (pelaksana panggilan/pelayanan gereja; 1 Pet 2: 5, 9; Why 1:6, 5:10, 20:6; band. Yesus sebagai Imam Besar Agung dalam Surat Ibrani), sedangkan para pejabat berfusngsi untuk memperlengkapi (=membekali) warga gereja untuk menjalankan tugasnya.
3.    Sebagaimana sistem presbiterial-sinodal, jabatan pendeta, penatua dan diaken diperkembangkan oleh Calvin dan para pengikutnya pada masa Reformasi. Ketiga jabatan setara namun berbeda dalam fungsinya. Pendeta untuk pemberitaan Firman,  pelayanan sakramen, dan penggembalaan. Penatua untuk pelayanan Firman dan penggembalaan; sedangkan diaken khusus untuk pelayanan diakonia (di dalam dan di luar gereja).
4.    Jabatan gereja, termasuk jabatan pendeta, tidak terikat pada seseorang seumur hidup, melainkan sesuai mandat pelayanan gereja. Seseorang diteguhkan karena kesediaannya untuk menjalankan panggilan di dalam gereja. Seorang pendeta yang meninggalkan gereja – karena memilih pekerjaan lain di luar gereja, atau karena diberhentikan -- otomatis jabatannya gugur. Seorang pendeta yang melakukan tugasnya sampai pensiun mendapat hak untuk tetap memakai gelar dan menjalankan tugas jabatannya sebagai pendeta emeritus.
5.    Seorang pemimpin kebaktian jemaat, mendapat mandat dari Majelis Jemaat, yang dinyatakan melalui penyerahan Alkitab dan jabat tangan presbiterial pada awal kebaktian di depan jemaat. Berkat yang disampaikan oleh pendeta atau oleh penatua oleh pemimpin kebaktian itu adalah berkat yang sama, tidak kurang, tidak lebih. Berkat yang disampaikan pendeta sama dengan yang disampaikan penatua atau diaken. Karena itu tidak perlu membedakannya dalam liturgi, baik pengucapannya (kamu, kita) maupun boleh tidak bolehnya mengangkat tangan tanda memberkati. Gereja kita tidak menganut akta liturgis pemberkatan sebagai pemberian (=impartation) melainkan pernyataan (=maklumat) berkat, dalam hal ini pejabat gereja menyatakan bahwa sesuai janji-Nya, Tuhan hadir, menyertai, menguatkan warga jemaat dalam kehidupan mereka. Berkat itu bukan dari diri pendeta atau pejabat gereja melainkan dari Tuhan. Pejabat gereja menyampaikannya.
6.    Demikian juga mengenai pemberkatan nikah. Gereja atau pejabat gereja tidak “memberi” berkat atas perkawinan, melainkan menyatakan atau menyampaikan bahwa Tuhan hadir, menyertai, menguatkan pasangan pengantin itu dalam menjalani lika-liku perjalanan atau ombak-gelombang pelayaran bahtera rumah tangga mereka.
7.    Bagaimana dengan pemberkatan nikah warga jemaat yang bercerai (menceraikan atau diceraikan)? Pertama-tama harus jelas bagaimana sikap gereja terhadap pelayanan warga jemaat yang bercerai? Apakah dikucilkan? Atau mungkin beberapa lamanya digembalakan lalu diterima “normal” sama seperti warga jemaat lainnya? Apakah pernikahannya yang baru itu diakui sebagai pernikahan Kristen? Atau gereja sama sekali menolak? Kalau gereja menerima untuk memberkati nikah warganya yang bercerai itu maka pemberkatannya juga harus merupakan pemberkatan yang normal, sebagaimana pemberkatan pasangan yang baru. Sebaiknya gereja mengatur dengan baik bahwa walaupun gereja menolak perceraian, namun jika suatu perceraian telah melalui proses perceraian yang sah secara hukum, maka jika yang bersangkutan menikah maka gereja dapat melayaninya. Yang perlu diatur juga adalah jangan menikahkan pasangan yang hanya menumpang lewat, tanpa kelengkapan administrasi, baik administrasi gereja maupun pemerintah.

Demikian beberapa pokok pikiran. Semoga bermanfaat. 
Zakaria Ngelow

Wednesday, May 23, 2012

Pesan Bulan Oikoumene 2012







Bulan Mei setiap tahun ditetapkan sebagai Bulan Oikoumene oleh PGI. Pada Bulan Mei inilah PGI merayakan Hari Ulang Tahunnya. Sejak berdirinya pada 25 Mei 1950, PGI pada tahun ini genap berusia 62 tahun. Dalam rangka Bulan Oikoumene 2012 ini, MPH PGI telah menyampaikan Pesan Bulan Oikoumene 2012 untuk diketahui oleh seluruh anggota gereja dalam lingkup PGI.






PESAN BULAN OIKOUMENE 2012
“DIPANGGIL UNTUK TERUS MENYATAKAN KEADILAN DAN PERDAMAIAN” (bdk. Filipi 4:8)

Saudara-saudari warga gereja yang dikasihi Kristus!
Salam Sejahtera,
  1. Puji dan syukur kita haturkan kepada Tuhan Yesus Kristus, Sang Kepala Gereja, yang karena kasih dan kemurahan-Nya telah menghantar kita memasuki Bulan Oikoumene 2012. Bulan ini mengandung arti penting dan mendasar bagi kita, karena lagi-lagi kita diingatkan terhadap komitmen dan tekad gereja-gereja mewujudkan Gereja Kristen Yang Esa di Indonesia sebagaimana dinyatakan pada pembentukan Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI), 25 Mei 1950. Pembentukan DGI tersebut telah ikut mendorong ke arah persatuan dan kesatuan bangsa, yang pada tahun-tahun itu masih gamang dengan keindonesiaannya. Kendati gereja-gereja berbeda-beda dari segi teologi, eklesiologi, suku dan etnis, namun telah berusaha untuk membuka diri satu terhadap yang lainnya dan terus berjalan bersama dalam arak-arakan oikoumene. Gereja-gereja berusaha menampilkan kesatuan yang utuh, sehingga kesaksian dan pelayanannya dapat diwujudkan lebih nyata di tengah-tengah masyarakat, bangsa dan negara Indonesia. Ketika PGI (semula bernama DGI) sekarang berusia 62 tahun, 88 sinode gereja telah bergabung di dalamnya. Fakta ini  sungguh memperkaya kehidupan beroikoumene, kendati doa Yesus, “…supaya mereka menjadi satu…” (Yoh.17:21) belum sepenuhnya terpenuhi. Namun kita bertekad untuk tidak mempertentangkan perbedaan-perbedaan di antara kita. Sebaliknya, kita memahaminya sebagai kekayaan bersama. Oikoumene in action terus kita laksanakan, seraya menerima berbagai konsensus dan komitmen bersama sebagaimana antara lain termaktub dalam Dokumen Keesaan Gereja. Kita juga belajar terbuka kepada saudara-saudari umat beriman lain yang tidak tergabung di dalam PGI. Pada tanggal 7 Oktober 2011, bertepatan dengan diselenggarakannya Pertemuan II Global Christian Forum di Manado, Indonesia, secara bersama-sama kita telah mendeklarasikan “Forum Umat Kristen Indonesia” (FUKI) sebagai wujud saling membagi kekayaan spiritual bersama.
  2. Pilihan tema Bulan Oikoumene tahun ini didorong oleh kondisi dan situasi masyarakat, bangsa dan negara kita, yang di dalamnya kita bersaksi dan melayani. Secara khusus, Konsultasi Teologi yang baru saja diselenggarakan ikut mengilhami pemilihan tema ini. Berbagai peristiwa penting yang terjadi akhir-akhir ini, mau tidak mau menuntut peranan gereja untuk bersaksi di dalamnya. “Dipanggil untuk terus menyatakan keadilan dan perdamaian”, diilhami oleh nasihat Rasul Paulus kepada jemaat di Filipi, khususnya Filipi 4:8, “Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu.”  Rasul Paulus mendorong pemikiran dan perilaku berdasarkan etika kristiani. Apa yang benar, apa yang adil, apa yang patut, semuanya itu mestinya bukan sekadar dipikirkan, tetapi sekaligus dilakukan oleh orang-orang percaya di manapun berada. Panggilan mewujudkan keadilan dan perdamaian melampaui batas-batas denominasi dan gereja. Bahkan inilah panggilan kenabian gereja di tengah-tengah dunia yang terus bergumul dengan perjuangan mewujudkan keadilan dan perdamaian. Kita percaya, dengan curahan Roh Kudus, gereja-gereja di Indonesia dimampukan berlaku dan bertindak atas dasar etika kristiani tersebut, di mana keadilan dan perdamaian dinyatakan.
  3. Masyarakat, bangsa dan negara kita sedang berada dalam pergumulan besar. Khususnya di bidang perekonomian dicatat adanya kemajuan besar. Tetapi pada saat yang sama jumlah orang-orang miskin makin bertambah. Ini mengindikasikan bahwa pembangunan ekonomi tidak berpihak kepada orang-orang miskin dan yang lemah secara ekonomis. Peristiwa yang baru saja kita alami berupa unjuk rasa di mana-mana sebagai protes terhadap rencana pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak memperlihatkan kebenaran sinyalemen ini. Kita mendorong pemerintah dan semua pengambil keputusan di negeri ini untuk lebih berpihak kepada kepentingan rakyat. Alkitab menyaksikan bahwa Allah selalu berpihak kepada yang lemah dan tidak berdaya. Secara eksplisit Allah memerintahkan para pemimpin untuk “melepaskan orang miskin yang berteriak minta tolong, orang yang tertindas…orang lemah, dan orang miskin” (Mz. 72:12-14). Bahkan lebih tegas lagi dilarang untuk “memeras pekerja harian yang miskin dan menderita” (Ul.4:37-40; Yer.29:7).
  4. Apabila gereja-gereja menyatakan keadilan dan perdamaian, maka itulah refleksi dari wujud keberpihakan Allah kepada kehidupan semua makhluk ciptaan-Nya, lebih-lebih terhadap yang menderita, tersisih, dan tertindas. Dalam konteks bangsa kita, wujud keberpihakan ini mesti diarahkan kepada orang-orang miskin, penganut agama-agama yang tidak leluasa menyatakan imannya di muka umum karena tekanan-tekanan, penduduk daerah-daerah tertinggal dan yang mendiami wilayah-wilayah perbatasan, para pekerja migran, mereka yang berkebutuhan khusus, korban bencana alam, orang-orang yang hidup dengan HIV/AIDS, LGBT (lesbian, gay, biseksual, transjender/transseksual), kaum perempuan yang mengalami diskriminasi dan penindasan, para korban perdagangan manusia, dan semua yang mengalami penderitaan dalam jenis apapun. Kepeduliaan terhadap lingkungan yang adalah penunjang kehidupan harus diarahkan kepada pencegahan perusakan hutan tropis, pemusnahan margasatwa, eksploitasi sumber daya alam, polusi dan pemanasan global.
  5. Gerakan oikoumene kita memang telah menempatkan kita dalam arak-arakan bersama. Namun harus diakui, kebanyakan praktek beroikoumene kita cenderung masih sebatas seremonial. Maka adalah tantangan dan panggilan kita bagaimana gerakan oikoumene mewujud juga dalam karya-karya sosial yang menjawab kebutuhan gereja dan masyarakat. Gejala-gejala perpecahan di dalam gereja tentulah ‘menyumbang secara negatif’ terhadap upaya kebersamaan di dalam aksi ini. Karena itu dalam semangat kebersamaan gereja-gereja Tuhan, kiranya perayaan Bulan Oikoumene ini kembali menjadi momentum yang mengingatkan kesejatian panggilan kita selaku Tubuh Kristus, yaitu “menjadi satu”.
Pada akhirnya, dalam momentum perayaan ini dan dengan semangat peringatan hari pencurahan Roh Kudus (Pentakosta) ini kami mengajak gereja-gereja untuk:
Pertama, semakin memantapkan langkah bersama tanpa mengenal lelah memperkuat persekutuan di dalam wadah PGI guna mewujudkan Gereja Kristen Yang Esa. Piagam Saling Mengakui dan Saling Menerima (PSMSM) yang telah disepekati bersama tetap menjadi kerangka acuan kita bersama. Seraya kita juga percaya bahwa semua warga gereja, khsususnya generasi muda, perlu diberi kesempatan untuk mengembangkan semangat oikoumenis melalui berbagai cara.
Kedua, menyatakan sikap pemihakan yang jelas terhadap orang miskin, sikap kritis terhadap proses perumusan dan pemberlakuan kebijakan ekonomi, serta sikap hidup jujur, hemat, dan kerja keras. Seluruh perilaku itu harus mewujud di dalam kehidupan pribadi, keluarga, komunitas, masyarakat dan negara, seraya tetap waspada atas dampak-dampak negatif dari sistem ekonomi pasar bebas dan (neo)-kapitalisme, dan mendorong  upaya-upaya ekonomi yang berkeadilan.
Ketiga, menanggapi panggilan Allah bagi gereja untuk memihak kepada kehidupan, baik dalam relasi oikoumenis mau pun dalam relasi dengan sesama ciptaan. Ini berarti gereja-gereja dan gerakan oikoumenis diminta untuk memberi perhatian yang lebih serius kepada realitas-realitas ketimpangan yang ada, misalnya daerah-daerah tertinggal dan perbatasan, pekerja migran, perdagangan manusia, orang berkebutuhan khusus, korban bencana alam, dan semua mereka yang menderita. Kepedulian terhadap lingkungan perlu semakin ditingkatkan dan diarahkan kepada pencegahan pengrusakan alam, eksploitasi sumber daya alam, polusi dan pemanasan global, sehingga bumi ini benar-benar menjadi “rumah” (oikos) bersama.
Demikianlah pesan dan harapan di Bulan Oikoumene 2012 ini. Tuhan kiranya memberkati segala upaya kita dalam mewujudkan keesaan gereja-gereja Tuhan di Indonesia. Selamat merayakan Bulan Oikoumene 2012.

Jakarta, Mei 2012
Atas nama,
MAJELIS PEKERJA HARIAN PGI



Pdt.Dr.Andreas A.Yewangoe                Pdt.Gomar Gultom, M.Th
Ketua Umum                                     Sekretaris Umum

Tuesday, May 22, 2012

Persepuluhan = Wajib memberi 10%?


oleh Anwar Tjen

Berkali-kali saya mendapat pertanyaan dari warga gereja mengenai konsep persepuluhan. Apakah persepuluhan itu memang wajib? Dan kalau wajib, apakah memang persis 10% persen? Pertanyaan ini rupanya meresahkan sebagian warga gereja yang dibingungkan dengan maraknya ajaran mengenai persepuluhan yang mengartikannya secara harfiah. Di kalangan tertentu, bahkan terdengar nada “peringatan” bahwa mereka yang tidak menyerahkan 10% dari seluruh pendapatannya kepada gereja atau “hamba Tuhan” berarti mencuri uang Tuhan! Sebaliknya, mereka yang menyerahkan betul-betul 10% dari penghasilannya diberkati secara berlimpah-limpah. Tidak kalah pentingnya, ada yang mempertanyakan, kepada siapa dan untuk apa saja sesungguhnya persepuluhan itu: untuk kegiatan gereja saja atau malah kepada pendeta (atau “hamba Tuhan”) tanpa harus mempersoalkan penggunaannya untuk tujuan yang spesifik. Bagaimana kalau persembahan itu ditujukan langsung untuk menolong mereka yang membutuhkan pertolongan (bencana, sakit, anak yatim piatu)?

Pertanyaan-pertanyaan seperti ini mendorong saya untuk mengedarkan secara lebih luas makalah yang semula merupakan bahan pembinaan di beberapa jemaat di Jakarta, antara lain, di Gereja Kristen Protestan Indonesia, Rawamangun, Jakarta Timur (Maret 2006) dan Huria Kristen Batak Protestan, Tomang, Jakarta Barat (2007). Sebagai seorang konsultan penerjemahan Alkitab yang sehari-hari bergelut dengan pemahaman teks-teks firman Tuhan, bagi saya yang terpenting adalah bahwa teks-teks itu dipahami secara utuh, tidak hanya secara harfiah atau sepotong-potong tanpa mempertimbangkan konteksnya yang berbeda dan berubah dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru.

Apa perlunya persembahan kepada Tuhan?
Pertanyaan awal yang sangat mendasar bagi kita adalah: Apakah Pencipta langit dan bumi kekurangan apa-apa sehingga perlu dilayani dengan pemberian dari manusia ciptaannya? Jawabnya: Sama sekali tidak! Baca Mzm 50.9-14; bnd. ucapan rasul Paulus dalam Kis 17.24-25. Nas-nas ini sangat penting untuk memahami apa hakikat persembahan itu. Kita memberi bukan karena Allah kekurangan sesuatu. Persembahan umat Tuhan adalah ungkapan syukur terhadap karya Allah yang membebaskan, memelihara dan memberkati umat-Nya, bukan upaya untuk memenuhi kebutuhan Tuhan akan pujian apalagi materi.

Lagi pula, perlu kita garisbawahi, terkadang Tuhan menolak apa yang dipersembahkan manusia jika pemberian itu hanya untuk menutup-nutupi berbagai sikap dan tindakan munafik yang bertentangan dengan kehendak Tuhan. Dalam pemberitaan para nabi, persembahan umat tidak jarang dikecam keras dan dipandang memuakkan bagi-Nya (baca Yes 1.11-13; Am 4.4-5; 5.21-22). Ini dapat terjadi jika persembahan yang disampaikan tidak merupakan persembahan yang sungguh, yang mencerminkan hubungan yang benar antara si pemberi dengan Pencipta dan sesamanya. Pada masa Amos, misalnya, umat begitu rajin beribadah dan sekaligus rajin menjarah rakyat jelata yang tak berdaya.

Secara positif, tentu saja benar, kita juga membaca ratusan ayat Kitab Suci yang menganjurkan dan memerintahkan umat Tuhan mempersembahkan kurban kepada-Nya. Kita banyak menemukan perintah demikian dalam kitab Taurat, khususnya kitab Imamat. Tuhan rupanya senang menerima persembahan syukur umat -Nya (mis. Kel 22.29; Mzm 50.14; juga sebagian besar kitab Imamat). Sesudah air bah, Nuh mempersembahkan kurban yang berkenan kepada Allah (Kej 8.20). Begitu pula, ketika umat Israel dimerdekakan dari Mesir, salah satu alasan pokoknya adalah agar mereka dapat mempersembahkan kurban kepada Tuhan (Kel 3.17-18; 8.27). .

Persepuluhan: Apa dan untuk apa?
Dalam konteks demikian, banyak orang Kristen kini menyoroti tentang “perpuluhan” atau “persepuluhan” yang rupanya tidak diberlakukan lagi di sebagian gereja. Konsep ini pertama kali disebutkan dalam Kej 14.17-20, yakni ketika Abraham bertemu Melkisedek dan menyerahkan sepersepuluh (ma‘aser) dari semua jarahannya (bnd. Ibr 7.1-10). Dalam Kej 28.22 kita juga membaca, Yakub menazarkan persembahan sebesar sepersepuluh dari semua yang diberikan Tuhan.
Konsep persepuluhan seperti ini tidak dapat dikatakan unik, hanya berlaku di Israel. Dalam teks-teks yang ditemukan di dunia Timur Tengah kuno, kita dapat membaca bagaimana kuil-kuil mendapat jatah sepersepuluh dari hasil tanah dan ternak yang memungkinkan aktivitas ibadatnya terus berlangsung. Konsep inilah yang telah diadopsi dan di”kudus”kan sebagai praktek umat Tuhan dalam PL, seperti persembahan hasil tanah dan ternak yang kerap kali muncul dalam kitab Imamat (mis. 27.30-33) dan Ulangan (mis. 14.22-23; juga 12, 14, 26).

Dalam kaitan ini, patut dicatat, ada perbedaan pemahaman mengenai sasaran pemanfaatannya. Menurut Bil 18.20-32 persepuluhan diperuntukkan bagi orang Lewi saja setiap tahun (bnd. Neh 14.44-45). Namun, menurut Ul 14.23 hasil persepuluhan dari tanah dan ternak yang diberikan dalam dua tahun dimaksudkan untuk dinikmati secara bersama oleh umat yang menyerahkannya. Orang Lewi turut diundang ke jamuan bersama itu, karena suku ini tidak memperoleh milik pusaka. Pada akhir tahun ketiga, (Ul 14.28-29; 26.12), hasil persepuluhan tidak hanya diberikan kepada kaum Lewi, tetapi juga anak yatim, janda dan orang asing.

Persepuluhan sebagai “norma” hidup berkelimpahan?
Barangkali ayat yang paling terkenal dan paling sering dijadikan alasan untuk memberi persepuluhan adalah Mal 3.6-11. Pada satu sisi, ayat ini memberi ultimatum mengenai kelalaian dalam memberi persepuluhan untuk rumah Tuhan: Semua yang tidak menyerahkan persepuluhan adalah orang yang menipu Allah! (qaba, bisa juga berarti “merampok”). Di sisi lain, dengan nada yang luar biasa optimis, kepada semua pemberi persepuluhan dijanjikan berkat berkelimpahan: “Bawalah seluruh persembahan persepuluhan itu ... dan ujilah Aku ... apakah Aku tidak membukakan bagimu tingkap-tingkap langit dan mencurahkan berkat kepadamu sampai berkelimpahan?” Di kalangan gereja tertentu, nas ini sangat mendukung teologi kemakmuran yang digembar-gemborkan. Memang ada kesaksian mengenai hidup yang berkelimpahan oleh sebagian orang yang konsisten memberi persepuluhan, tetapi patut dipertanyakan apakah kekurangan material merupakan akibat kelalaian memberi persepuluhan yang merupakan hak Tuhan! Di sini teks seperti Mal 3 harus dilihat bersama-sama teks lain dalam Alkitab.

Jika kemiskinan merupakan akibat ketidakadilan, seperti yang terjadi pada zaman Amos, masalahnya jelaslah bukan terletak dalam soal memberi persepuluhan. Tidak mengherankan, dalam kitab Amos, kita bahkan mendengar suara kritis mengenai persepuluhan yang diberikan umat Tuhan: “Datanglah ke Betel dan lakukanlah perbuatan jahat ... bawalah kurban persembahanmu pada waktu pagi, dan persembahan persepuluhanmu pada hari yang ketiga! ... Bukankah yang demikian kamu sukai hai orang Israel?” Persembahan sepersepuluh pun menjadi praktek yang dikecam Tuhan jika hidup umat-Nya tidak sesuai dengan kasih setia (khesed) Tuhan yang harus pula terwujud dalam hubungan horizontal dengan sesama. Analoginya, boleh-boleh saja, orang memberi sepersepuluh hasil korupsi dan eksploitasi yang menyengsarakan rakyat kepada gereja yang membutuhkan dana, tetapi dalam semangat pemberitaan Amos, praktek demikian sama memuakkan bagi Tuhan seperti ibadah-ibadah megah yang digelar tak habis-habisnya pada masa itu.

Mengapa persepuluhan “menghilang” dari ajaran PB?
Jika kita beralih ke Perjanjian Baru, harus diakui, tidak banyak ditemukan referensi tentang persembahan persepuluhan kecuali dalam dua konteks: (i) kecaman Yesus terhadap orang Farisi yang rajin memberi persepuluhan tetapi mengabaikan “keadilan dan belas kasihan dan kesetiaan” (Mat 23.23; Luk 11.42); (ii) keimaman Melkisedek yang menerima dari Abraham “sepersepuluh dari segala rampasan”. Yang menjadi fokus adalah keunggulan jabatan imam Melkisedek yang merupakan gambaran Kristus, imam yang sempurna.

Dapat disimpulkan, persepuluhan sebagai kewajiban kepada orang yang berkekurangan dan kaum Lewi yang tidak punya tanah dan pekerjaan lain kecuali mengajar dan menyelenggarakan ibadah tidak lagi menjadi norma baku dalam ajaran PB. Malah, seperti kritik para nabi, Yesus juga menegaskan, yang dikehendaki Tuhan bukan persembahan tetapi belas kasihan (Mat 9.13; 12.7). Itu diucapkan dalam konteks pelanggaran ajaran Taurat yang dipegang ketat oleh orang Farisi. Lagi pula, dalam konteks pemberian persembahan dalam bentuk uang di Bait Suci, komentar Yesus tentang persembahan kecil seorang janda melampaui sekedar pemberian sepersepuluh hasil bumi atau ternak: “janda ini memberi dari kekurangannya” (Mrk 12.41-44; Luk 21.1-4).

Kalau bukan persepuluhan, apa yang harus dipersembahkan?
Pertanyaan yang relevan untuk umat percaya masa kini adalah: Bagaimana kita memahami tentang persembahan jika konsep persepuluhan tidak lagi menjadi norma baku bagi jemaat Kristen mula-mula? Di satu sisi, kita melihat perluasan makna persembahan dalam dimensi etisnya. Dalam Rm 12.1 Paulus menyerukan agar umat Kristen di Roma mempersembahkan tubuh mereka sebagai “persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah”. Demikian pula, dalam 1 Ptr 2.5 kita temukan ajaran mengenai “imamat am” orang percaya yang sebagai imam “mempersembahkan persembahan rohani yang karena Yesus Kristus berkenan kepada Allah”. Kedua nas ini pada dasarnya mengacu kepada kehidupan konkret sebagai wujud ibadah yang benar.

Di sisi lain, makna persembahan juga diberi terjemahan konkret dalam arti memberi secara material dari kemurahan hati. Kita membaca ajaran Yesus yang tidak terdapat dalam kitab-kitab Injil tetapi dicatat dalam Kis 20.35 bahwa lebih berbahagia memberi daripada menerima. Paulus dalam konteks ini sedang berbicara mengenai pelayanan sendiri yang dibiayai dengan tangan sendiri, walaupun sebagai pekerja Kristus, ia berhak menerima hasil pelayanannya secara material sebagaimana ditetapkan Tuhan sendiri (bnd. 1 Kor 9.14).
Dalam kaitan ini, kita harus menyebut pengumpulan uang untuk keperluan “orang-orang kudus” yang sering disebutkan dalam surat-surat Paulus (Rm 15.25-32; 2 Kor 8-9). Paulus menyebut jemaat Makedonia sebagai teladan: “sangat miskin namun mereka kaya dalam kemurahan” (2 Kor 8.2). Apa yang mereka upayakan mirip dengan yang telah dilakukan janda miskin di Bait Suci: “mereka telah memberi menurut kemampuan mereka, bahkan melampaui kemampuan mereka” (8.3).

Penutup: Dari anugerah kepada anugerah!
Asas terpenting dalam pemberian yang murah hati itu adalah pengenalan akan kasih karunia (kharis) Tuhan Yesus Kristus yang “oleh karena kamu menjadi miskin, sekalipun Ia kaya, supaya kamu menjadi kaya oleh karena kemiskinan-Nya” (2 Kor 8.9). Itulah sebabnya pengumpulan uang sebagai wujud kesadaran akan anugerah Kristus itu dinamakan kharis “karya anugerah”![1] Hasil yang diharapkan dilihat sebagai upaya untuk mencapai keseimbangan (isotetos) antara yang berlimpah dan yang berkekurangan. Untuk itu Paulus mengutip nas PL dari pencurahan manna kepada umat Israel di padang gurun (2 Kor 8.15; Kel 16.18).

Walaupun semangatnya berbeda dengan Mal 3 yang berisi ancaman Tuhan, kita membaca pesan yang serupa bahwa apa yang ditabur dengan kerelaan sebanding dengan apa yang dituai dengan sukacita. Dasarnya adalah kasih dan berkat Allah: “Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita dan Allah sanggup melimpahkan sebaga kasih karunia kepada kamu, supaya kamu senantiasa berkecukupan di dalam segala sesuatu dan malah berlebihan di dalam pelbagai kebajikan” (2 Kor 9.6-9). Yang harus dihindarkan, seperti ditegaskan Paulus, adalah keterpaksaan! (9.5, 7; Fil 1.14).

Pengumpulan uang (kolekte dll.) yang sekarang dilakukan di dalam konteks kehidupan gereja (bnd. 1 Kor 16.2) mestinya dimengerti sebagai hasil yang wajar dari penerimaan anugerah Tuhan. Kalau kita sudah dibenarkan dengan cuma-cuma, maka ucapan syukur yang spontan akan terungkap lewat pemberian. Itulah yang disebut Paulus sebagai “hasil-hasil pembenaranmu” (ta genemata tes dikaiosunes humon).[2] Karya anugerah itu memang ditujukan kepada manusia tetapi juga “melimpahkan ucapan syukur kepada Allah” (9.12)!
Dalam kaitan ini, patut dicatat, walaupun Paulus menyatakan tidak ingin membebani siapa pun untuk mengabarkan Injil, toh dia mengakui menerima bantuan jemaat-jemaat yang pernah dilayaninya. Yang paling penting lagi, lebih daripada sekedar pemberian material itu, Paulus melihatnya sebagai “persembahan yang harum, suatu kurban yang disukai dan berkenan kepada Allah” (Flp 4.18). Ini sekaligus merupakan dasar teologis bagi pemberian jemaat kita dalam rangka menafkahi para pelayannya.

Bagaimana kita mengerti persembahan dalam konteks jemaat kita? Jelaslah, tidak dalam semangat legalistis sebagai Taurat baru! Konsep seperti “persepuluhan” tidak perlu diterapkan norma yang mengikat, walaupun sebenarnya dapat dipakai sebagai model untuk menolong jemaat dalam menentukan bagian yang akan diberikan. Dari sudut praktisnya, tentu saja konsep demikian – yang tidak harus diartikan secara harfiah 10% – dapat menolong kita mengatasi kelemahan manusiawi kita seperti yang disebutkan Kristus: “di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada” (Mat 6.21). Dengan meng”aman”kan bagian tertentu, sesuai dengan kerelaan hati kita, pemberian dapat dilakukan tanpa bersungut-sungut dan dengan penuh ucapan syukur. Sebab, “Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita!”[2]

--- Kamis, 29 Mei 2008


Dr. Anwar Tjen melayani sebagai pendeta di Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI, berpusat di Pematangsiantar) dan konsultan ahli di Lembaga Alkitab Indonesia (LAI). Studi lanjut dalam filologi dan tafsir Kitab Suci di Union Theological Seminary in Virginia, USA (Th.M./1995), Pontificium Institutum Biblicum, Roma (1997-98), Ecole Biblique, Yerusalem, Universitas Tesalonika, Yunani (2000). Menyelesaikan studi doktoral di Fakultas Studi Oriental, Cambridge University, UK (PhD/2003), dengan disertasi mengenai Septuaginta, yakni Kitab Suci Ibrani yang pertama kali diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani. Studi komplementer dalam bidang linguistik di Australian National University, Canberra (GradDipl/2007).










Monday, May 21, 2012

Matius 23:34-36


Apa itu Kekerasan?
Kisah ini bermula dari dua anak manusia pertama yaitu Kain dan Habel. Kain, sang petani. Habel, sang penggembala domba. Mereka sama-sama mempersembahkan hasil kerja mereka kepada Tuhan. Kain mempersembahkan sebagian hasil tanahnya sebagai korban persembahan sedangkan Habel mempersembahkan anak sulung kambing dombanya. Tuhan mengindahkan korban persembahan Habel, tetapi menolak korban persembahan Kain. Karena hal tersebut, Kain membunuh Habel. Tuhan marah dan mengutuk Kain. Kain menjadi pengembara dan pelarian di Bumi. Namun Kain khawatir, barangsiapa yang akan bertemu dengan dia, mereka akan membunuhnya. Tuhan berjanji, hal itu tidak akan terjadi. Sabda Tuhan, “Barangsiapa yang akan membunuh Kain akan dibalaskannya tujuh kali lipat”. Kain diberi tanda oleh Tuhan supaya ia tidak dibunuh oleh siapapun yang bertemu dengannya (Kej 4:1-16).

Menggugat Mekanisme Kekerasan di Indonesia: Pemahaman Alkitab mengenai Mateus 23:34-36

Sunday, May 20, 2012

Perayaan HUT GKSS 2012

Doakan, dukung, dan hadiri:

Tgl 12-19 Juni 2012 GKSS merayakan Hari Ulang Tahun ke-46 Sinode GKSS dan Hari Pekabaran Injil GKSS ke-79. Acara untuk GKSS Klasis Saraung dipusatkan di Jemaat Mattiro Baji.

Salah satu kegiatan adalah Refleksi Sejarah GKSS pada 18 Juni 2012 sore di TC GKSS.