Tuesday, September 20, 2011

Upacara Adat Mapacci

Di kalangan masyarakat Bugis/Makassar pada malam menjelang upacara pernikahan seorang gadis (atau perjaka) keesokan harinya, dilangsungkan upacara adat yang disebut mapacci. Upacara adat ini sarat dengan simbol-simbol yang maknanya terkait dengan semua harapan bagi kebahagiaan calon pengantin dalam hidup rumah tangganya.

Nama mappaci berhubungan dengan daun pacci (daun pacar, yang lasim dipakai membersihkan kuku) yang dipakai dalam upacara itu. Kata pacci terhubung dengan paccing, yang berarti bersih, atau suci. Ini melambangkan kesucian hati calon pengantin menghadapi saat pernikahan dalam memulai mengayuh biduk rumah tangganya.

Dalam sastra Bugis terdapat pantun yang berbunyi :”Dua kuala sappo, unganna panasae na belo kanukue” Harafiah: Dua hal kujadikan pagar, bunga nangka (panasae) dan daun pacar (pacci). Maknanya terhubung dengan simbol yang terungkap dalam nama Bugis kedua obyek: panasa dan pacci. Kata panasa menggemakan kata minasa, yang berarti cita-cita luhur, yang juga terkait dengan kejujuran (lempu’). Kombinasi kejujuran (panasa, minasa) dan kesucian (paccing) merupakan dasar utama menjalani kehidupan rumah tangga.


Simbol-simbol Harapan

Perlengkapan simbolik upacara mapacci terdiri atas beberapa bahan: (1) benno (beras yang disangrai; biasa juga beras biasa) dan tai bani; (2) bantal, sarung, daun pisang dan daun nangka; dan (3) bekkeng berisi pacci; serta (4) gula merah dan kelapa. Benno yaitu beras yang digoreng kering hingga mekar, adalah doa kiranya calon pengantin ini akan mekar berkembang dengan baik, bersih dan jujur. Dalam bahasa Bugis disebut mpenno rialei. Sedang tai bani (patti), malam/lilin yang diperoleh dari sarang lebah -- dahulu juga dapat dibuat dari isi buah kemiri atau buah jarak; namun umumnya kini dipakai lilin biasa dari toko saja -- melambangkan suluh (penerang), supaya terang (kebaikan) menyertai hidupnya. Juga lambang kehidupan yang seperti komunitas lebah, yaitu tata kehidupan bermasyarakat yang rukun, bekerjasama, dan menekuni tugas/tanggungjawab masing-masing. Jadi simbol ini mengharapkan menjadi keluarga teladan dalam kehidupan bermasyarakat. Selanjutnya, bantal (angkalung, pa’lungang) sebagai pengalas kepala yang bermakna penghormatan atau martabat, yang dalam bahasa Bugis disebut mappakalebbi. Mengenai sarung (lipa’) haruslah sarung baru (belum pernah dipakai) sebanyak tujuh (atau sembilan) lembar, disusun dalam jalinan khusus terkait satu dengan yang lain; maksudnya ialah sebagai penutup tubuh (harga diri), juga karena sarung dibuat dari benang yang di tenun helai demi helai yang melambangkan ketekunan dan keterampilan. Dahulu kala jika laki-laki mencari calon isteri, dia tidak perlu melihat secara langsung si gadis tapi cukup dengan melihat hasil tenunannya. Bila tenunnannya rapi dan bagus maka gadis itu dapat diandalkan menjadi isteri yang baik. Tujuh lembar sarung (juga tujuh lembar daun nangka, tujuh lilin) adalah angka ganjil yang menjunjuk pada harapan untuk penggenapan. [Juga karena dalam bahasa Makassar kata “tuju” (angka tujuh) mirip dengan kata mattujui yang artinya berguna.]

Daun pisang (Bugis: daung otti, Makassar: leko’ unti), melambangkan kehidupan (keturunan, rezeki) yang berkesinambungan, sambung-menyambung. Daun pisang yang tua belum mulai kering, daun muda telah bermunculan untuk menggantikan dan melanjutkan hidupnya. Dalam bahasa Bugis disebut maccolli maddaung. Daun nangka (Bugis = daung panasa), sebagaimana dijelaskan di atas, terkait dengan minasa yang berarti harapan atau cita-cita yang luhur.

Bekkeng, yaitu wadah tempat menaruh daun pacci, mengandung arti kesatuan jiwa atau kerukunan hidup dalam suatu rumah tangga. Daun pacci, sesuai kaitan bunyinya menunjuk pada paccing/mapaccing, melambangkan kesucian, yang meliputi: mapaccing ati (bersih hati), mapaccing nawa – nawa (bersih pikiran), mapaccing panggaukang (bersih tingkah laku), mapaccing ateka’ (bersih itikad). Gula merah menunjuk pada hal yang manis (Bugis: macenning) dan dengan santan kelapa yang memberi rasa sedap (Bugis: mallunra’), simbol kehidupan rumah tangga yang penuh cinta kasih, manis dan sedap.


Jalannya Upacara Mapacci

Upacara mapaccing dirangkai dengan upacara agama; biasanya di kalangan Islam dengan barzanji. Gadis/perjaka calon pengantin duduk (di kursi atau di lantai) pelaminan (bisa juga dalam kamar pengantinnya) didampingi orangtua. Para tamu yang diundang umumnya kerabat dekat dan handai taulan. Lalu seorang yang ditentukan menjelaskan apa makna upacara mapaccing dan simbol-simbolnya, serta selanjutnya memanggil pasangan suami-isteri orang-orang yang dituakan satu persatu maju ke depan mem-pacci calon mempelai. Jumlah mereka juga ganjil, tujuh atau sembilan pasang; dan diminta dari pasangan suami-isteri yang masih utuh. Mereka juga merupakan simbol untuk harapan akan rumah tangga yang utuh, langgeng dan bahagia. Mereka duduk dan bergiliran mengambil beberapa daun pacci, mencampurnya dengan gula dan kelapa lalu meletakkan di telapak tangan mempelai yang terbuka beralas bantal di atas lipatan sarung, daun nangka dan daun pisang). Dapat pula memberikan sejumput beras (bisa dihamburkan ke kepalanya).

Setelah semua pasangan yang ditetapkan telah melakukan mapacci maka seluruh hadirin bersama-sama mendoakan semoga calon pengantin direstui oleh Yang Maha Kuasa agar menjadi isteri atau suami yang bahagia, bermartabat dan penuh berkat. ”Cukkong muwa minasae, nakkelo Puwangnge naiyya ma’dupa” (Pengharapan yang teguh, dengan perkenan Tuhan, akan terpenuhi).


Orang Kristen melakukan Mapacci?

Di kalangan orang Bugis yang beragama Kristen upacara mapacci juga dilakukan dengan dirangkaikan kebaktian jemaat. Upacara ini berbeda dengan tradisi sekuler “lepas bujang”, yang lebih merupakan pesta si gadis (atau si perjaka) masing-masing dengan kawan-kawan muda-mudi sepergaulannya. Upacara mapacci secara Kristiani difahami terutama sebagai ucapan syukur dan doa atas hidup si gadis/ si perjaka, sang calon mempelai. Disyukuri perkenan Tuhan memberi kekuatan orangtuanya membesarkan dia, dan penentuan Tuhan sehingga telah menemukan jodohnya untuk siap berumah tangga. Upacara ini adalah mendoakan supaya upacara perkawinannya besok hari berlangsung dengan baik, dan supaya rumah tangganya diberkati Tuhan dengan kebahagiaan dan semua yang baik, sebagaimana dinyatakan melalui simbol benda-benda yang dipakai dalam mapacci. Pembacaan dan perenungan Firman Allah dari Alkitab dikaitkan dengan syukur dan doa itu. Dengan kata lian, upacara mapacci merupakan suatu tindakan berteologi -- bukan terutama dengan kata-kata -- tetapi dengan simbol-simbol yang konkrit. Aspek lain yang juga penting dalam mapacci adalah menghimpunkan kerabat dan handai taulan tanpa membedakan latar agama, untuk bersama-sama bersyukur dan mendoakan calon pengantin. Di dalam upcara ini berbagai nilai-nilai positif tradisi budaya dihidupkan dan diperkenalkan. Jadi gereja menerima upacara mapacci sebagai suatu warisan budaya yang positif dan perlu dilestrikan.


Rujukan:
http://ila-galigo.blogspot.com/2009/02/upacara-adat-mapacci.html.
http://idawy.wordpress.com/2009/06/20/mappacci/

Terima kasih kepada Bpk Penatua Kurnaini Alwi, yang menjelaskan berberapa makna simbolis unsur-unsur yang dipakai dalam mapacci. Pdt. Armin Sukri dan Jenifer Ladja mengoreksi beberapa istilah bahasa daerah. Tulisan ini sebagai “doa mapacci” untuk seorang gadis asal Bugis Soppeng warga GKSS Jemaat Mattiro Baji yang baru-baru ini mengalami upacara mapacci menjelang pemberkatan nikahnya. Tuhan berkati.


[Zakaria J. Ngelow]

1 comment:

jeniferladja said...

Keren, menarik bahwa GKSS masih sangat menghargai budaya. Adat ini menurut saya, bermakna sangat dalam dan patut terus dilestarikan ;)