Wednesday, May 30, 2012

Catatan dari SeminarTata Gereja GKSS,



Dalam Seminar Tata Gereja GKSS tgl 25 Mei 2012 di Makassar, mengemuka beberapa pokok dalam presentasi dan diskusi. Berikut beberapa catatan

1.    Sistem presbiterial-sinodal bertumpu pada beberapa prinsip:
a.    Jemaat (gereja setempat) adalah wujud yang utuh dan lengkap gereja Tuhan di dalam dunia.
b.    Jemaat dipimpin oleh Majelis Jemaat, yaitu para pejabat yang dipilih/ditempatkan dalam jemaat itu. Para pejabat gereja meliputi penatua, diaken dan pendeta. Rapat Majelis Jemaat adalah lembaga tertinggi dalam jemaat.
c.    Jemaat-jemaat bersepakat untuk bergabung dalam satu sinode, yang dipimpin bersama oleh Majelis Gereja yang diperluas (=Majelis Sinode), yang dipilih oleh persidangan para utusan Majelis Jemaat yang tergabung (=Persidangan Sinode). Wewenang dan kewajiban Majelis Sinode ditentukan oleh Persidangan Sinode. Demikian pula pembentukan suatu Klasis oleh kesepakatan jemaat-jemaat, dengan wewenang dan kewajiban yang ditetapkan dalam persidangannya.
d.    Jemaat, Klasis dan Sinode bukan satuan-satuan keorganisasian yang berjenjang, melainkan menyangkut kewenangan dan kewajiban pelayanan yang lebih luas. Karena sifatnya sebagai Jemaat yang diperluas, maka personalia Majelis Pengurus Klasis dan Majelis Pengurus Sinode haruslah dipilih pejabat gereja. Personalia yang kemudian tidak lagi menjadi pejabat di jemaatnya dapat ditetapkan sebagai pejabat gereja (penatua atau diaken) ex-officio. 
2.    Jabatan gereja berdasar pada prinsip imamat am orang percaya. Seluruh warga gereja adalah imam (pelaksana panggilan/pelayanan gereja; 1 Pet 2: 5, 9; Why 1:6, 5:10, 20:6; band. Yesus sebagai Imam Besar Agung dalam Surat Ibrani), sedangkan para pejabat berfusngsi untuk memperlengkapi (=membekali) warga gereja untuk menjalankan tugasnya.
3.    Sebagaimana sistem presbiterial-sinodal, jabatan pendeta, penatua dan diaken diperkembangkan oleh Calvin dan para pengikutnya pada masa Reformasi. Ketiga jabatan setara namun berbeda dalam fungsinya. Pendeta untuk pemberitaan Firman,  pelayanan sakramen, dan penggembalaan. Penatua untuk pelayanan Firman dan penggembalaan; sedangkan diaken khusus untuk pelayanan diakonia (di dalam dan di luar gereja).
4.    Jabatan gereja, termasuk jabatan pendeta, tidak terikat pada seseorang seumur hidup, melainkan sesuai mandat pelayanan gereja. Seseorang diteguhkan karena kesediaannya untuk menjalankan panggilan di dalam gereja. Seorang pendeta yang meninggalkan gereja – karena memilih pekerjaan lain di luar gereja, atau karena diberhentikan -- otomatis jabatannya gugur. Seorang pendeta yang melakukan tugasnya sampai pensiun mendapat hak untuk tetap memakai gelar dan menjalankan tugas jabatannya sebagai pendeta emeritus.
5.    Seorang pemimpin kebaktian jemaat, mendapat mandat dari Majelis Jemaat, yang dinyatakan melalui penyerahan Alkitab dan jabat tangan presbiterial pada awal kebaktian di depan jemaat. Berkat yang disampaikan oleh pendeta atau oleh penatua oleh pemimpin kebaktian itu adalah berkat yang sama, tidak kurang, tidak lebih. Berkat yang disampaikan pendeta sama dengan yang disampaikan penatua atau diaken. Karena itu tidak perlu membedakannya dalam liturgi, baik pengucapannya (kamu, kita) maupun boleh tidak bolehnya mengangkat tangan tanda memberkati. Gereja kita tidak menganut akta liturgis pemberkatan sebagai pemberian (=impartation) melainkan pernyataan (=maklumat) berkat, dalam hal ini pejabat gereja menyatakan bahwa sesuai janji-Nya, Tuhan hadir, menyertai, menguatkan warga jemaat dalam kehidupan mereka. Berkat itu bukan dari diri pendeta atau pejabat gereja melainkan dari Tuhan. Pejabat gereja menyampaikannya.
6.    Demikian juga mengenai pemberkatan nikah. Gereja atau pejabat gereja tidak “memberi” berkat atas perkawinan, melainkan menyatakan atau menyampaikan bahwa Tuhan hadir, menyertai, menguatkan pasangan pengantin itu dalam menjalani lika-liku perjalanan atau ombak-gelombang pelayaran bahtera rumah tangga mereka.
7.    Bagaimana dengan pemberkatan nikah warga jemaat yang bercerai (menceraikan atau diceraikan)? Pertama-tama harus jelas bagaimana sikap gereja terhadap pelayanan warga jemaat yang bercerai? Apakah dikucilkan? Atau mungkin beberapa lamanya digembalakan lalu diterima “normal” sama seperti warga jemaat lainnya? Apakah pernikahannya yang baru itu diakui sebagai pernikahan Kristen? Atau gereja sama sekali menolak? Kalau gereja menerima untuk memberkati nikah warganya yang bercerai itu maka pemberkatannya juga harus merupakan pemberkatan yang normal, sebagaimana pemberkatan pasangan yang baru. Sebaiknya gereja mengatur dengan baik bahwa walaupun gereja menolak perceraian, namun jika suatu perceraian telah melalui proses perceraian yang sah secara hukum, maka jika yang bersangkutan menikah maka gereja dapat melayaninya. Yang perlu diatur juga adalah jangan menikahkan pasangan yang hanya menumpang lewat, tanpa kelengkapan administrasi, baik administrasi gereja maupun pemerintah.

Demikian beberapa pokok pikiran. Semoga bermanfaat. 
Zakaria Ngelow

No comments: