Monday, June 6, 2011

Surga masih bermakna

Pdt. E. G. Singgih
Perikop: Lukas 24:44-53.
Nas : Lukas 24:51, “Dan ketika Ia sedang memberkati mereka, Ia berpisah dengan mereka dan terangkat ke surga”.

Pendahuluan
Di dalam bahasa Yunani, kata untuk langit atau surga adalah ouranos, sedangkan dalam bahasa Ibrani, hasyamayim. Jadi kalau kepada orang-orang di jaman Alkitab ditanyakan apa itu langit, maka mereka akan menunjuk ke atas. Kalau ditanyakan apa itu surga, mereka juga akan menunjuk ke atas. Langit sama dengan surga, yang di atas itu. Dan bukan hanya orang beriman yang mengaku seperti itu, tetapi juga mereka yang lain, yang bukan Yahudi dan bukan Kristiani. Sederhana, tetapi juga sekaligus, mendalam. Dengan memaknai yang di atas itu sebagai surga, manusia mendapat idea mengenai keluasan, sehingga bisa memahami batas-batasnya. Dari situ muncul pemahaman mengenai cakrawala sebagai batas pemandangan manusia. Cakrawala itu dipahami sebagai benda, tetapi sekaligus sebagai simbol keterbatasan manusia. Dengan simbol itu manusia tahu siapa dirinya, dan tahu tempatnya di mana. Yang di atas itu langit tempat Yang Ilahi, yang di tengah itu bumi tempat manusia, dan yang di bawah itu, mboh, apa namanya terserah kek, itu tempat dari mereka yang tidak bisa digolongkan ke Yang Ilahi maupun manusia. Dengan demikian manusia bisa mengorientasikan dirinya, tidak hilang lenyap dalam keluasan…

Bagaimana kalau tidak ada surga?
Mungkin pertanyaan ini akan terasa aneh, tetapi baiklah saya membagikan pengalaman Alexander Solzhenytsin, pejuang hati nurani di Uni Sovyet pada jaman perang dingin dan pemenang hadiah Nobel untuk kesusasteraan. Di dalam salah satu novelnya dia menceritakan bagaimana dinyatakan sebagai musuh rakyat dan dipenjarakan oleh KGB di penjara Lubyanka di Moskwa. Berbagai penderitaan telah dialaminya, tetapi yang paling tidak tertahankan, yang membuat dirinya hampir gila adalah bahwa dia tidak bisa melihat langit. Sistem penjara di Lubyanka itu memang dibuat sedemikian rupa, sehingga seorang “zek” (istilah untuk tahanan politik) tidak bisa melihat langit. Di selnya tidak ada jendela atau lobang, di tempat appel tidak ada pemandangan ke luar, semua berlangsung di dalam ruangan, “di sini”, “di bawah”! Di jaman kuno, penjara disebut “dungeon”, letaknya di bawah tanah. Maka dunia bawah adalah termasuk dunia penjara yang gelap, dunia dari mereka yang bukan manusia. Kalau orang lain disapa sebagai “kamerad” (tovaritsy), maka penghuni dunia bawah, “zek”, tidak berhak disapa demikian. Ia hanya seorang “citizen” (warga biasa). Karena tidak ada idea mengenai keluasan, apa yang ada, “kini” dan “di sini” menjadi hal-hal yang dirasakan menghimpit, menjepit, mematikan. Orang kehilangan orientasinya.
Mengapa saya membagikan pengalaman Solzhenytsin ini? Oleh karena baru-baru ini di dunia maya beredar pendapat dari Stephen Hawking, fisikawan Inggris yang termasyhur, yang katanya adalah fisikawan yan paling brilyan sesudah Einstein. Hawking menyatakan bahwa surga tidak ada. Kata surga merupakan bagian dari perbendaharaan kata-kata nenek-nenek tua, pokoknya sebuah ungkapan yang sudah ketinggalan zaman. Cobalah lihat alam semesta yang amat luas ini, dengan tata surya yang lebih dari satu (berapa ya? 8, 12, 20? Ada berapa matahari di jagad raya ini?). Kalau begitu mana yang disebut “atas”? Mana yang disebut “bawah”? Ruang dan waktu berdimensi empat menurut Einstein. Nah dalam alam semesta berdimensi empat yang terus menerus meluas ini, mana langit? Mana surga?
Kalau kata surga tidak bermakna, bagaimana kita mau berbicara atau merayakan kenaikan Tuhan Yesus ke surge? Bagaimanakah kita mau menghayati ayat 51 dari bacaan Injil, yang menyebutkan bahwa “Ia berpisah dari mereka dan terangkat ke surga”?

Dua gambaran dunia atau kosmologi
Nah, sdr-sdr, saya kira kebanyakan dari kita tidak amat asing dan tahu juga mengenai gambaran alam semesta yang disebut oleh Hawking. Dari informasi yang begitu banyak mengenai susunan alam semesta, kita mempunyai sebuah gambaran kasar mengenai alam semesta seperti yang diberikan oleh IPTek modern kepada kita. Tetapi adanya gambaran kasar dari IPTek ini tidak menyebabkan kita menyingkirkan gambaran alam semesta yang tradisional, yang kita warisi dari nenek moyang (local beliefs) dan dari agama (universal religions). Gambaran tradisional itu telah menjadi bagian dari darah daging, menjadi sesuatu yang eksistensial, dan melewati batas-batas yang rasional. Ia telah mewujud menjadi pandangan dunia (worldview) dan menentukan orientasi kita, bahkan membantu untuk menentukan siapakah kita ini dan ada di mana kita sekarang. Gambaran eksisitensial ini tidak ilmiah atau ketinggalan zaman, tetapi tetap mengharukan, tetap membuat kita bersyukur bahwa kita masih hidup.
Cobalah jika sempat, anda pergi ke sebuah pulau yang tidak berpenghuni pada malam hari bulan purnama, ketika langit bersih dan ribuan bintang muncul di cakrawala. Anda membaringkan diri, terlentang di atas pasir sambil diam memandang bintang-bintang itu. Mereka menjadi amat dekat, dan rasanya bisa disentuh dengan jari telunjuk kita. Kita tahu sih bahwa bintang itu bukan bintang, mungkin asteroid, mungkin planet, dan kalau kita bisa lihat sekarang berarti sebenarnya planet itu sudah lama musnah menurut teori cahaya dari relativitas Einstein. Tetapi di pulau itu, bintang adalah “bintang kecil di langit yang tinggi” yang dinyanyikan oleh ibu-ibu kita sewaktu meninabobokan kita. Itu bukan sekadar kenang-kenangan dari masa kecil, tetapi kenang-kenangan yang membentuk realitas!
Andaikata Hawking mengalami penderitaan mental seperti Solzhenytsin, mungkin dia tidak mengeluarkan pernyataan yang negatif mengenai surga. Tetapi masalahnya adalah bahwa para ilmuwan kadang-kadang begitu kagum dengan gambaran alam semesta dari IPTek, sehingga melecehkan dan menyingkirkan gambaran dunia tradisional, yang sudah menjadi eksistensial tadi. Seperti dikatakan oleh Dr. Karlina Supelli, fisikawati Indonesia yang baru-baru ini tulisannya saya tanggapi, para ilmuwan tersebut lupa bahwa gambaran alam semesta atau kosmologi mereka tetaplah hanya sebuah gambaran kosmologi, dan bukan kosmologi! Di pihak lain, kaum beragama yang menjadi sasaran tembak dari Hawking dkk, yang ingin membela makna eksistensial dan religius yang terdapat pada gambaran kosmologi tradisional, lupa juga bahwa gambaran kosmologi tradisional itu hanya salah satu gambaran saja dan bukan kosmologi itu sendiri! Ada dari antara kaum beragama yang lalu “terpaksa” (atau sengaja?) menyangkal gambaran dunia IPTek dan mati-matian mempertahankan kosmologi tradisional sebagai yang benar. Kalau ditanya mengapa, jawabnya ya karena iman, karena Kitab Suci saya bilang begitu. Kalau dia membaca Karlina Supelli, dia akan menjawab bahwa karena itu “cuma” gambaran, dan bukan kenyataan, tanpa mempedulikan bahwa Karlina Supelli juga mengatakan hal yang sama mengenai kosmologi tradisional.

Memaknai surga dengan menggunakan gambaran IPTek
Seperti sudah dikatakan tadi, kita mempunyai gambaran kasar dari alam semesta menurut IPTek dalam benak kita. Tetapi di samping itu kita juga mewarisi gambaran alam semesta atau kosmologi dari nenek moyang dan dari agama, seperti yang sekarang menjadi bacaan yang harus kita renungkan mengenai kenaikan Tuhan Yesus ke surga. Gambaran tradisional ini tidak perlu disingkirkan, meskipun dianjurkan oleh orang sekaliber Hawking. Kalau kedua gambaran ini tidak kita pertentangkan, melainkan kita integrasikan di dalam penghayatan kita, maka kita akan mendapatkan dua pokok penting dari makna kenaikan Tuhan Yesus ke surga, yaitu A. Keluasan iman, dan B. Kedewasaan iman.
1. Keluasan Iman. Tuhan Yesus yang bangkit, berkuasa atas bumi dan langit, bahkan menurut surat Efesus yang kita dalam Epistel tadi, memenuhi seluruh alam semesta ini. Yesus bangkit dan naik ke surga. Sebelumnya turun ke dalam kerajaan maut. Yesus melintasi ketiga batas kediaman: dunia bawah, dunia tengah dan sekarang, dunia atas. Tetapi sekaligus Yesus adalah dia yang memenuhi keluasan alam semesta yang terus menerus meluas ini! Suasana yang kita dapatkan dalam bacaan kita adalah suasana perpisahan. Yesus berpisah dari murid-muridNya, tetapi perpisahan ini tidak mendukacitakan melainkan sebaliknya, mensukacitakan (ayat 52). Yesus adalah Tuhan yang berkuasa atas semua, bahkan melewati batas kediaman segala sesuatu. Kalau makna inti dari surga adalah keluasan, maka tidak soal apakah sekarang ada gambaran alam semesta yang sedemikian luasnya dengan sekian banyak matahari. Kalau orang di jaman Alkitab begitu terpesona dengan alam semesta sejauh yang mereka pelajari dari IPTek di zaman mereka dan bisa mengatakan, “Tuhan Yesus ada di situ!”, maka seyogyanya kita yang mendapat anugerah berupa gambaran alam semesta yang lebih luas dan lebih kompleks dari apa yang kita dapati di Alkitab itu, terlebih-lebih lagi, bisa bersukacita, dan juga bilang, “Tuhan Yesus ada di situ!”
Kenyataannya, cukup banyak fisikawan yang tidak mengambil kesimpulan seperti Hawking, melainkan meneruskan dan mentransfer gambaran tradisional yang telah menjadi eksistensial tadi ke dalam gambaran IPTek modern. Kalau Hawking menyimpulkan bahwa di alam raya yang maha luas ini cuma ada kita saja, orang lain bisa menyimpulkan bahwa ada kita, dan karena itu ada Tuhan. Atau kalau kita mau menggunakan logika agama, maka kita akan mengatakan ada Tuhan, karena itu ada alam raya dan kita yang termasuk dalam alam raya itu (dan juga yang lain, siapa tahu ada alien di tata surya yang jauh…).
1. Kedewasaan Iman. Kesukacitaan murid-murid mengandung sebuah aspek lain, yaitu kedewasaan iman. Perpisahan dengan Tuhan Yesus bukanlah sesuatu yang menyedihkan, melainkan menggembirakan, memantapkan para murid untuk memulai perjalanan mereka di dunia sebagai orang yang dewasa dalam iman. Kalau kita bersekolah menjadi murid, kita tidak bisa menjadi murid untuk selamanya. Pada suatu saat guru kita akan berkata kamu lulus, sudah punya cukup bekal untuk hidup. Guru akan minggir, dan dengan bangga membiarkan kita berjalan sendiri sebagai lulusannya. Bukan berarti hubungan sama sekali putus. Secara rohani kita sebagai murid akan selalu mengingatnya, dan pada saat-saat genting, kita teringat pada ajaran-ajarannya. Begitulah juga halnya dengan menjadi murid Kristus.
Masalahnya adalah bahwa makna kedewasaan iman murid Kristus itu sekarang tidak menjadi pokok yang penting dalam penghayatan iman. Coba saja perhatikan nyanyian-nyanyian gereja, misalnya “Ku tak dapat jalan sendiri” atau “Tiap langkahku diatur oleh Tuhan” dan banyak nyanyian lain. Maksudnya jelas dan betul, sebagai orang beriman kita harus bersumberkan Kristus sebagai Tuhan. Tetapi kalau tidak waspada, makna yang bagus ini bisa melenceng menjadi ketidakdewasaan dalam iman yang berjalan terus menerus. Kalau ku tak dapat jalan sendiri, ngapain Kristus memerintahkan murid-murid untuk bersaksi ke seluruh dunia dan menjadi garam dan terang? Kalau tiap langkahku harus diatur oleh Tuhan, kapan aku bisa belajar berjalan sendiri? Kita memang diangkat menjadi anak-anak Allah, tetapi menjadi anak-anak Allah tidak berarti menjadi kekanak-kanakan. Kalau secara metaforis, kita diajak untuk hidup murni seperti bayi yang ingin minum susu, maka itu tidak berarti bahwa beriman adalah menjadi seperti bayi yang maunya hanya minum susu…Mengapa terjadi begitu banyak masalah dengan orang-orang muda Kristiani di negeri kita, yang sebenarnya sangat sehat secara biologis dan secara mental dan intelektual sangat mantap, tetapi baru krisis sedikit aja, sudah panik dan bingung gak karuan? Ialah karena pendidikan agamanya mengajar dia untuk melecehkan semuanya itu. Anda harus menyingkirkan semuanya itu, supaya dengan demikian bisa memperoleh kekuatan luar biasa dari Roh Kudus…
Padahal kalau kita membaca akhir Injil Lukas, murid-murid telah diberkati oleh Tuhan mereka, dan pulang dengan sukacita. Dalam sukacita mereka terkandung pengharapan akan janji Tuhan, bahwa Roh Kudus akan datang. Dalam Kisah Rasul yang merupakan lanjutan Injil Lukas, Roh Kudus memang datang. Kalau kita lupa bahwa Kisah Rasul adalah lanjutan Injil Lukas, memang kita bisa jatuh dalam salah tafsir seperti tadi. Tetapi kalau kita sadar bahwa ada benang merah dari Lukas ke Kisah Rasul, maka karunia Roh Kudus merupakan pelengkap bagi tugas pelayanan para murid, yang sudah siap untuk melayani dalam iman yang dewasa. Karunia Roh Kudus itu tidak menihilkan persiapan-persiapan mereka yang sudah mereka peroleh dari pergaulan langsung mereka dengan Tuhan Yesus sebagai Guru Agung mereka.

Penutup
Kalau kita menyadari bahwa kenaikan Tuhan Yesus ke surga berhubungan dengan keluasan iman dan kedewasaan iman, maka perayaan kenaikan sebenarnya berkaitan dengan keberadaan kita manusia di dalam alam semesta ini. Seorang ilmuwan sekaligus rohaniwan Katolik abad 20, Teilhard de Chardin, yang semasa hidupnya disalahpahami oleh Gereja Katolik dan karya-karyanya dilarang untuk dibaca, memahami Kristus sebagai Alfa dan Omega. Sebenarnya ungkapan ini Alkitabiah bukan, sebab ada di kitab Wahyu pasal 21:6. Di tengah kesempitan penganiayaan, rasul Yohanes mendapatkan penglihatan di pulau Patmos mengenai Yesus yang adalah Alfa dan Omega. De Chardin meneruskan penglihatan itu kepada generasi masa kini. Karena Yesus adalah Alfa dan Omega, Yang Awal dan yang Akhir, hidup kita sebagai manusia tidak pernah tidak akan bermakna. Selamat merayakan hari kenaikan Tuhan Yesus ke surga!

------
Catatan: Pdt. Prof. Emanuel Gerrit Singgih, Ph.D. mahaguru teologi di UKDW Yogyakarta; pendeta GPIB. Almarhum ayahnya adalah salah seorang tenaga zending di Sulawesi Selatan, yang melahirkan GKSS.

No comments: