Mazmur 130:1-8 (Bacaan pada Minggu Pra-paskah ke-5) 1 Nyanyian ziarah. Dari jurang yang dalam aku berseru kepada-Mu, ya TUHAN! 2 Tuhan, dengarkanlah suaraku! Biarlah telinga-Mu menaruh perhatian kepada suara permohonanku. 3 Jika Engkau, ya TUHAN, mengingat-ingat kesalahan-kesalahan, Tuhan, siapakah yang dapat tahan? 4 Tetapi pada-Mu ada pengampunan, supaya Engkau ditakuti orang. 5 Aku menanti-nantikan TUHAN, jiwaku menanti-nanti, dan aku mengharapkan firman-Nya. 6 Jiwaku mengharapkan Tuhan lebih dari pada pengawal mengharapkan pagi, lebih dari pada pengawal mengharapkan pagi. 7 Berharaplah kepada TUHAN, hai Israel! Sebab pada TUHAN ada kasih setia, dan Ia banyak kali mengadakan pembebasan. 8 Dialah yang akan membebaskan Israel dari segala kesalahannya.
Mazmur 130 dikenal dengan nama Latinnya, De Profundis, sesuai dengan kata-kata pertama isi Mazmur pertobatan ini: De profundis clamavi ad te Domine. Dari jurang yang dalam aku berseru kepada-Mu, ya TUHAN.
De Profundis mengilhami banyak penyair menulis puisi duka derita, termasuk beberapa penyair ternama, seperti Alfred Tennyson, Elizabeth Barrett Browning, Charles Baudelaire, Christina Rossetti, C. S. Lewis; bahkan Oscar Wilde menulis sebuah buku. Dan karena Mazmur ini dipakai sebagai nyanyian khusus dalam misa duka Gereja Katolik, sejumlah komponis menggubah requiem dari Mazmur ini, termasuk Handel, Mozart, Bach dan Mendelssohn.
Mazmur 130 memuat beberapa gagasan yang membentuk rangkaian sikap dasar kehidupan beriman: a. Berdoa kepada Tuhan memohon pengampunan.
b. Kesadaran akan kehidupan manusia yang berdosa
c. Berhadapan dengan Tuhan yang pengampun
d. Dan karena itu berharap kepada-Nya
e. Serta mengajak bangsanya untuk berharap pada kasih setia Tuhan yang melakukan pembebasan atau pengampunan.
Rangkaian sikap dasar beriman dalam Mazmur tobat ini terdapat pula dalam mazmur-mazmur dan kitab-kitab lainnya. Yang khas dalam mazmur ini adalah ungkapan simbolik tempat berdoa memohon ampun, yakni dari jurang yang dalam. Jurang yang dalam adalah lokasi iman dan pengharapan kepada kemurahan Allah. Dalam wacana keselamatan, kejatuhan manusia adalah kejatuhan ke dalam jurang yang dalam. Diskusi mengenai peran manusia dalam keselamatan dapat digambarkan antara penganut “anugerah semata” dan “anugreah plus”. Fihak penganut “anugerah semata” menyatakan bahwa manusia jatuh ke dalam jurang dan koma, sehingga tidak ada jalan lain menyelamatkannya kecuali penyelamat turun ke dalam jurang mengangkat dan menyelamatkannya. Penganut “anugerah plus” menyatakan bahwa manusia jatuh ke dalam jurang dan mungkin mengalami patah tulang atau luka namun – dengan satu dan lain cara, misalnya berseru minta tolong -- masih dapat bekerja sama dengan penyelamatnya. Gratia non tollit, sed perficit naturam, anugerah tidak meniadakan melainkan menyempurnakan alam, kata Thomas Aquinas. Tetapi para Reformator menegaskan iustitia sola gratia, pembenaran hanya oleh anugerah. Saya membaca suatu tafsir yang menghubungkan seruan dari jurang yang dalam dengan doa nabi Yunus dari dalam perut ikan besar di kedalaman tubir samudera raya. Doa tidak dapat dibatasi oleh ruang atau tempat. Tetapi mazmur ini dapat pula dibaca sebagai sebuah kesaksian profetis seorang yang masygul terhadap kenyataan hidup masyarakatnya dan mengandaikannya telah terjatuh ke dalam jurang yang dalam, dan mengajak bangsanya untuk berharap kepada Tuhan. Dengan perspektif ini saya menempatkan mazmur tobat ini dalam kesejajaran dengan penglihatan nabi Yesaya yang di hadapan Tuhan menyadari diri sebagai orang yang najis bibir (baca: pembohong) dan tinggal di tengah-tengah bangsa yang pendusta: 6.5 Lalu kataku: "Celakalah aku! aku binasa! Sebab aku ini seorang yang najis bibir, dan aku tinggal di tengah-tengah bangsa yang najis bibir, namun mataku telah melihat Sang Raja, yakni TUHAN semesta alam."
Dan seperti Yesaya, penyair mazmur jurang ini juga berharap pada pengudusan Allah. “Sebab pada TUHAN ada kasih setia, dan Ia banyak kali mengadakan pembebasan.” (ayat 7b)
Zakaria Ngelow
No comments:
Post a Comment