[dari http://new.gkikb.or.id/info-umum/kebaktian/126-perjamuan-kudus/444-perjamuan-kudus.html]
Hari MINGGU tanggal 2 OKTOBER 2011
K ita akan merayakan perjamuan kudus. Untuk menyambut dan ikut serta dalam perayaan itu, marilah kita mempersiapkan diri secara bersama-sama
1. Pada perjamuan malam terakhir, Kristus menghendaki kita merayakan perjamuan kudus untuk mengenang-Nya. Mengenang Kristus berarti mengalami kehadiran-Nya seperti murid-murid-Nya dahulu mengalami kehadiran-Nya bersama mereka. Mengenang Kristus juga berarti menyadari secara pribadi seluruh kehidupan Kristus yang diberikan-Nya bagi keselamatan dunia, sejak Ia lahir, melayani, menderita sengsara, mati, dibangkitkan, dan dimuliakan di surga.
Marilah kita merenungkannya:
- Apakah Saudara benar-benar rindu untuk berjumpa secara pribadi dengan Kristus, untuk mengalami kasih, kuasa, dan kebenaran-Nya yang membarui hidup Saudara?
- Apakah Saudara menghayati bahwa seluruh kehidupan dan karya Kristus, yaitu kelahiran-Nya, pelayanan-Nya, penderitaan-Nya, kematian-Nya, kebangkitan-Nya, kenaikan-Nya ke surga, sampai dengan kedatangan-Nya kembali, terkait erat dengan kehidupan Saudara?
2. Pada perjamuan malam terakhir, ketika Kristus memecah roti dan mengangkat cawan, Ia membagikan tubuh dan darah-Nya sendiri kepada murid-murid-Nya. Menerima tubuh dan darah-Nya berarti dipersatukan dengan Kristus sehingga Ia menjadi Kepala dan kita tubuh-Nya. Menerima tubuh dan darah-Nya berarti dipersatukan dengan semua orang yang menerima-Nya juga menjadi satu tubuh dan satu roh.
Marilah kita merenungkannya:
- Apakah Saudara menghayati bahwa Kristus adalah Kepala seluruh kehidupan Saudara, dalam hidup berjemaat dan bermasyarakat, dalam keluarga dan pekerjaan Saudara?
- Apakah Saudara menghayati bahwa Saudara adalah anggota tubuh Kristus, yang saling mengasihi seorang terhadap yang lain?
3. Ketika kita bersatu dengan Kristus, Roti Hidup yang dipecah-pecahkan bagi dunia ini, kita pun dipersatukan dalam kematian dan kebangkitan Kristus. Dipersatukan dengan Kristus berarti diutus untuk mengosongkan dan menyangkal diri, memikul salib dan mengikut Kristus. Dipersatukan dengan Kristus berarti diutus untuk memberi hidup kita demi keselamatan dunia.
Marilah kita merenungkannya:
- Apakah dalam persekutuan dengan Kristus, Saudara mau berkurban dan menjadi berkat bagi sesama Saudara?
- Apakah Saudara menyadari bahwa sebagai anggota tubuh Kristus di tengah dunia, Saudara menjadi mata dan telinga bagi Kristus yang melihat dan mendengarkan, serta peduli terhadap kebutuhan dan masalah sesama Saudara? Sudahkah Saudara menjadi mulut bagi Kristus yang menyuarakan kebenaran dan keadilan dalam lingkungan Saudara? Sudahkah Saudara menjadi tangan bagi Kristus yang berkarya memperjuangkan damai sejahtera di muka bumi?
Kiranya Roh Kudus menolong kita semua dalam mempersiapkan diri untuk merayakan Perjamuan Kudus pada tanggal 2 OKTOBER 2011 mendatang.
Kecaplah dan lihatlah, betapa baiknya TUHAN itu! Berbahagialah orang yang berlindung pada-Nya! (Mazmur 34:9)
Friday, September 30, 2011
Sunday, September 25, 2011
Siaran Pers PGI: Bom
SIARAN PERS PERSEKUTUAN GEREJA-GEREJA DI INDONESIA
Majelis Pekerja Harian Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (MPH-PGI) menyampaikan keprihatinan sangat mendalam atas peristiwa pemboman bunuh diri yang terjadi di GBIS Kepunten Solo pada hari Minggu 25 September 2011 jam 10.55 wib.
Kami prihatin sebab kita belum mampu belajar dari pengalaman-pengalaman masa lalu bahwa bahasa kekerasan tidak dapat menyelesaikan persoalan. Kita belum mampu keluar dari jebakan-jebakan kekerasan yang sangat merugikan harkat dan martabat kemanusiaan. Pada hal sebagai manusia beradab kita mempunyai cara yang lebih manusiawi untuk menyampaikan aspirasi dan menyelesaikan berbagai persoalan.
Kami prihatin dengan korban-korban yang berjatuhan. Kami berharap mereka diberikan kekuatan dan pemulihan kesehatan melalui perawatan yang baik pula.
Kami menghimbau anggota-anggota jemaat di Solo dan umat Kristen di seluruh Indonesia untuk tetap tenang dan menyerahkan seluruh penyelesaian peristiwa ini kepada yang berwajib. Marilah kita berdoa agar para korban diberi pemulihan kesehatan yang memadai. Kita juga berdoa agar aparat kepolisian dan semua yang terkait di dalamnya diberi kemampuan menyelesaikan persoalan ini dengan segera melalui penegakan hukum yang berkeadilan.
Kepada seluruh pejabat Negara kami menyerukan agar bekerja secara profesional di dalam mengungkap latar belakang peristiwa ini, dan kepada pelakunya diadili menurut hukum yang berlaku di Negara Republik Indonesia.
Marilah secara bersama-sama kita melestarikan Bangsa dan Negara Republik Indonesia dengan menjunjung tinggi persaudaraan dan solidaritas di antara anak bangsa dengan berpegang teguh kepada nilai-nilai Pancasila.
Tuhan beserta kita sekalian.
Jakarta, 25 September 2011
Majelis Pekerja Harian PGI
Pdt Andreas A.Yewangoe (Ketum)
Pdt.Gomar Gultom (Sekum)
Majelis Pekerja Harian Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (MPH-PGI) menyampaikan keprihatinan sangat mendalam atas peristiwa pemboman bunuh diri yang terjadi di GBIS Kepunten Solo pada hari Minggu 25 September 2011 jam 10.55 wib.
Kami prihatin sebab kita belum mampu belajar dari pengalaman-pengalaman masa lalu bahwa bahasa kekerasan tidak dapat menyelesaikan persoalan. Kita belum mampu keluar dari jebakan-jebakan kekerasan yang sangat merugikan harkat dan martabat kemanusiaan. Pada hal sebagai manusia beradab kita mempunyai cara yang lebih manusiawi untuk menyampaikan aspirasi dan menyelesaikan berbagai persoalan.
Kami prihatin dengan korban-korban yang berjatuhan. Kami berharap mereka diberikan kekuatan dan pemulihan kesehatan melalui perawatan yang baik pula.
Kami menghimbau anggota-anggota jemaat di Solo dan umat Kristen di seluruh Indonesia untuk tetap tenang dan menyerahkan seluruh penyelesaian peristiwa ini kepada yang berwajib. Marilah kita berdoa agar para korban diberi pemulihan kesehatan yang memadai. Kita juga berdoa agar aparat kepolisian dan semua yang terkait di dalamnya diberi kemampuan menyelesaikan persoalan ini dengan segera melalui penegakan hukum yang berkeadilan.
Kepada seluruh pejabat Negara kami menyerukan agar bekerja secara profesional di dalam mengungkap latar belakang peristiwa ini, dan kepada pelakunya diadili menurut hukum yang berlaku di Negara Republik Indonesia.
Marilah secara bersama-sama kita melestarikan Bangsa dan Negara Republik Indonesia dengan menjunjung tinggi persaudaraan dan solidaritas di antara anak bangsa dengan berpegang teguh kepada nilai-nilai Pancasila.
Tuhan beserta kita sekalian.
Jakarta, 25 September 2011
Majelis Pekerja Harian PGI
Pdt Andreas A.Yewangoe (Ketum)
Pdt.Gomar Gultom (Sekum)
Tuesday, September 20, 2011
Upacara Adat Mapacci
Di kalangan masyarakat Bugis/Makassar pada malam menjelang upacara pernikahan seorang gadis (atau perjaka) keesokan harinya, dilangsungkan upacara adat yang disebut mapacci. Upacara adat ini sarat dengan simbol-simbol yang maknanya terkait dengan semua harapan bagi kebahagiaan calon pengantin dalam hidup rumah tangganya.
Nama mappaci berhubungan dengan daun pacci (daun pacar, yang lasim dipakai membersihkan kuku) yang dipakai dalam upacara itu. Kata pacci terhubung dengan paccing, yang berarti bersih, atau suci. Ini melambangkan kesucian hati calon pengantin menghadapi saat pernikahan dalam memulai mengayuh biduk rumah tangganya.
Dalam sastra Bugis terdapat pantun yang berbunyi :”Dua kuala sappo, unganna panasae na belo kanukue” Harafiah: Dua hal kujadikan pagar, bunga nangka (panasae) dan daun pacar (pacci). Maknanya terhubung dengan simbol yang terungkap dalam nama Bugis kedua obyek: panasa dan pacci. Kata panasa menggemakan kata minasa, yang berarti cita-cita luhur, yang juga terkait dengan kejujuran (lempu’). Kombinasi kejujuran (panasa, minasa) dan kesucian (paccing) merupakan dasar utama menjalani kehidupan rumah tangga.
Simbol-simbol Harapan
Perlengkapan simbolik upacara mapacci terdiri atas beberapa bahan: (1) benno (beras yang disangrai; biasa juga beras biasa) dan tai bani; (2) bantal, sarung, daun pisang dan daun nangka; dan (3) bekkeng berisi pacci; serta (4) gula merah dan kelapa. Benno yaitu beras yang digoreng kering hingga mekar, adalah doa kiranya calon pengantin ini akan mekar berkembang dengan baik, bersih dan jujur. Dalam bahasa Bugis disebut mpenno rialei. Sedang tai bani (patti), malam/lilin yang diperoleh dari sarang lebah -- dahulu juga dapat dibuat dari isi buah kemiri atau buah jarak; namun umumnya kini dipakai lilin biasa dari toko saja -- melambangkan suluh (penerang), supaya terang (kebaikan) menyertai hidupnya. Juga lambang kehidupan yang seperti komunitas lebah, yaitu tata kehidupan bermasyarakat yang rukun, bekerjasama, dan menekuni tugas/tanggungjawab masing-masing. Jadi simbol ini mengharapkan menjadi keluarga teladan dalam kehidupan bermasyarakat. Selanjutnya, bantal (angkalung, pa’lungang) sebagai pengalas kepala yang bermakna penghormatan atau martabat, yang dalam bahasa Bugis disebut mappakalebbi. Mengenai sarung (lipa’) haruslah sarung baru (belum pernah dipakai) sebanyak tujuh (atau sembilan) lembar, disusun dalam jalinan khusus terkait satu dengan yang lain; maksudnya ialah sebagai penutup tubuh (harga diri), juga karena sarung dibuat dari benang yang di tenun helai demi helai yang melambangkan ketekunan dan keterampilan. Dahulu kala jika laki-laki mencari calon isteri, dia tidak perlu melihat secara langsung si gadis tapi cukup dengan melihat hasil tenunannya. Bila tenunnannya rapi dan bagus maka gadis itu dapat diandalkan menjadi isteri yang baik. Tujuh lembar sarung (juga tujuh lembar daun nangka, tujuh lilin) adalah angka ganjil yang menjunjuk pada harapan untuk penggenapan. [Juga karena dalam bahasa Makassar kata “tuju” (angka tujuh) mirip dengan kata mattujui yang artinya berguna.]
Daun pisang (Bugis: daung otti, Makassar: leko’ unti), melambangkan kehidupan (keturunan, rezeki) yang berkesinambungan, sambung-menyambung. Daun pisang yang tua belum mulai kering, daun muda telah bermunculan untuk menggantikan dan melanjutkan hidupnya. Dalam bahasa Bugis disebut maccolli maddaung. Daun nangka (Bugis = daung panasa), sebagaimana dijelaskan di atas, terkait dengan minasa yang berarti harapan atau cita-cita yang luhur.
Bekkeng, yaitu wadah tempat menaruh daun pacci, mengandung arti kesatuan jiwa atau kerukunan hidup dalam suatu rumah tangga. Daun pacci, sesuai kaitan bunyinya menunjuk pada paccing/mapaccing, melambangkan kesucian, yang meliputi: mapaccing ati (bersih hati), mapaccing nawa – nawa (bersih pikiran), mapaccing panggaukang (bersih tingkah laku), mapaccing ateka’ (bersih itikad). Gula merah menunjuk pada hal yang manis (Bugis: macenning) dan dengan santan kelapa yang memberi rasa sedap (Bugis: mallunra’), simbol kehidupan rumah tangga yang penuh cinta kasih, manis dan sedap.
Jalannya Upacara Mapacci
Upacara mapaccing dirangkai dengan upacara agama; biasanya di kalangan Islam dengan barzanji. Gadis/perjaka calon pengantin duduk (di kursi atau di lantai) pelaminan (bisa juga dalam kamar pengantinnya) didampingi orangtua. Para tamu yang diundang umumnya kerabat dekat dan handai taulan. Lalu seorang yang ditentukan menjelaskan apa makna upacara mapaccing dan simbol-simbolnya, serta selanjutnya memanggil pasangan suami-isteri orang-orang yang dituakan satu persatu maju ke depan mem-pacci calon mempelai. Jumlah mereka juga ganjil, tujuh atau sembilan pasang; dan diminta dari pasangan suami-isteri yang masih utuh. Mereka juga merupakan simbol untuk harapan akan rumah tangga yang utuh, langgeng dan bahagia. Mereka duduk dan bergiliran mengambil beberapa daun pacci, mencampurnya dengan gula dan kelapa lalu meletakkan di telapak tangan mempelai yang terbuka beralas bantal di atas lipatan sarung, daun nangka dan daun pisang). Dapat pula memberikan sejumput beras (bisa dihamburkan ke kepalanya).
Setelah semua pasangan yang ditetapkan telah melakukan mapacci maka seluruh hadirin bersama-sama mendoakan semoga calon pengantin direstui oleh Yang Maha Kuasa agar menjadi isteri atau suami yang bahagia, bermartabat dan penuh berkat. ”Cukkong muwa minasae, nakkelo Puwangnge naiyya ma’dupa” (Pengharapan yang teguh, dengan perkenan Tuhan, akan terpenuhi).
Orang Kristen melakukan Mapacci?
Di kalangan orang Bugis yang beragama Kristen upacara mapacci juga dilakukan dengan dirangkaikan kebaktian jemaat. Upacara ini berbeda dengan tradisi sekuler “lepas bujang”, yang lebih merupakan pesta si gadis (atau si perjaka) masing-masing dengan kawan-kawan muda-mudi sepergaulannya. Upacara mapacci secara Kristiani difahami terutama sebagai ucapan syukur dan doa atas hidup si gadis/ si perjaka, sang calon mempelai. Disyukuri perkenan Tuhan memberi kekuatan orangtuanya membesarkan dia, dan penentuan Tuhan sehingga telah menemukan jodohnya untuk siap berumah tangga. Upacara ini adalah mendoakan supaya upacara perkawinannya besok hari berlangsung dengan baik, dan supaya rumah tangganya diberkati Tuhan dengan kebahagiaan dan semua yang baik, sebagaimana dinyatakan melalui simbol benda-benda yang dipakai dalam mapacci. Pembacaan dan perenungan Firman Allah dari Alkitab dikaitkan dengan syukur dan doa itu. Dengan kata lian, upacara mapacci merupakan suatu tindakan berteologi -- bukan terutama dengan kata-kata -- tetapi dengan simbol-simbol yang konkrit. Aspek lain yang juga penting dalam mapacci adalah menghimpunkan kerabat dan handai taulan tanpa membedakan latar agama, untuk bersama-sama bersyukur dan mendoakan calon pengantin. Di dalam upcara ini berbagai nilai-nilai positif tradisi budaya dihidupkan dan diperkenalkan. Jadi gereja menerima upacara mapacci sebagai suatu warisan budaya yang positif dan perlu dilestrikan.
[Zakaria J. Ngelow]
Nama mappaci berhubungan dengan daun pacci (daun pacar, yang lasim dipakai membersihkan kuku) yang dipakai dalam upacara itu. Kata pacci terhubung dengan paccing, yang berarti bersih, atau suci. Ini melambangkan kesucian hati calon pengantin menghadapi saat pernikahan dalam memulai mengayuh biduk rumah tangganya.
Dalam sastra Bugis terdapat pantun yang berbunyi :”Dua kuala sappo, unganna panasae na belo kanukue” Harafiah: Dua hal kujadikan pagar, bunga nangka (panasae) dan daun pacar (pacci). Maknanya terhubung dengan simbol yang terungkap dalam nama Bugis kedua obyek: panasa dan pacci. Kata panasa menggemakan kata minasa, yang berarti cita-cita luhur, yang juga terkait dengan kejujuran (lempu’). Kombinasi kejujuran (panasa, minasa) dan kesucian (paccing) merupakan dasar utama menjalani kehidupan rumah tangga.
Simbol-simbol Harapan
Perlengkapan simbolik upacara mapacci terdiri atas beberapa bahan: (1) benno (beras yang disangrai; biasa juga beras biasa) dan tai bani; (2) bantal, sarung, daun pisang dan daun nangka; dan (3) bekkeng berisi pacci; serta (4) gula merah dan kelapa. Benno yaitu beras yang digoreng kering hingga mekar, adalah doa kiranya calon pengantin ini akan mekar berkembang dengan baik, bersih dan jujur. Dalam bahasa Bugis disebut mpenno rialei. Sedang tai bani (patti), malam/lilin yang diperoleh dari sarang lebah -- dahulu juga dapat dibuat dari isi buah kemiri atau buah jarak; namun umumnya kini dipakai lilin biasa dari toko saja -- melambangkan suluh (penerang), supaya terang (kebaikan) menyertai hidupnya. Juga lambang kehidupan yang seperti komunitas lebah, yaitu tata kehidupan bermasyarakat yang rukun, bekerjasama, dan menekuni tugas/tanggungjawab masing-masing. Jadi simbol ini mengharapkan menjadi keluarga teladan dalam kehidupan bermasyarakat. Selanjutnya, bantal (angkalung, pa’lungang) sebagai pengalas kepala yang bermakna penghormatan atau martabat, yang dalam bahasa Bugis disebut mappakalebbi. Mengenai sarung (lipa’) haruslah sarung baru (belum pernah dipakai) sebanyak tujuh (atau sembilan) lembar, disusun dalam jalinan khusus terkait satu dengan yang lain; maksudnya ialah sebagai penutup tubuh (harga diri), juga karena sarung dibuat dari benang yang di tenun helai demi helai yang melambangkan ketekunan dan keterampilan. Dahulu kala jika laki-laki mencari calon isteri, dia tidak perlu melihat secara langsung si gadis tapi cukup dengan melihat hasil tenunannya. Bila tenunnannya rapi dan bagus maka gadis itu dapat diandalkan menjadi isteri yang baik. Tujuh lembar sarung (juga tujuh lembar daun nangka, tujuh lilin) adalah angka ganjil yang menjunjuk pada harapan untuk penggenapan. [Juga karena dalam bahasa Makassar kata “tuju” (angka tujuh) mirip dengan kata mattujui yang artinya berguna.]
Daun pisang (Bugis: daung otti, Makassar: leko’ unti), melambangkan kehidupan (keturunan, rezeki) yang berkesinambungan, sambung-menyambung. Daun pisang yang tua belum mulai kering, daun muda telah bermunculan untuk menggantikan dan melanjutkan hidupnya. Dalam bahasa Bugis disebut maccolli maddaung. Daun nangka (Bugis = daung panasa), sebagaimana dijelaskan di atas, terkait dengan minasa yang berarti harapan atau cita-cita yang luhur.
Bekkeng, yaitu wadah tempat menaruh daun pacci, mengandung arti kesatuan jiwa atau kerukunan hidup dalam suatu rumah tangga. Daun pacci, sesuai kaitan bunyinya menunjuk pada paccing/mapaccing, melambangkan kesucian, yang meliputi: mapaccing ati (bersih hati), mapaccing nawa – nawa (bersih pikiran), mapaccing panggaukang (bersih tingkah laku), mapaccing ateka’ (bersih itikad). Gula merah menunjuk pada hal yang manis (Bugis: macenning) dan dengan santan kelapa yang memberi rasa sedap (Bugis: mallunra’), simbol kehidupan rumah tangga yang penuh cinta kasih, manis dan sedap.
Jalannya Upacara Mapacci
Upacara mapaccing dirangkai dengan upacara agama; biasanya di kalangan Islam dengan barzanji. Gadis/perjaka calon pengantin duduk (di kursi atau di lantai) pelaminan (bisa juga dalam kamar pengantinnya) didampingi orangtua. Para tamu yang diundang umumnya kerabat dekat dan handai taulan. Lalu seorang yang ditentukan menjelaskan apa makna upacara mapaccing dan simbol-simbolnya, serta selanjutnya memanggil pasangan suami-isteri orang-orang yang dituakan satu persatu maju ke depan mem-pacci calon mempelai. Jumlah mereka juga ganjil, tujuh atau sembilan pasang; dan diminta dari pasangan suami-isteri yang masih utuh. Mereka juga merupakan simbol untuk harapan akan rumah tangga yang utuh, langgeng dan bahagia. Mereka duduk dan bergiliran mengambil beberapa daun pacci, mencampurnya dengan gula dan kelapa lalu meletakkan di telapak tangan mempelai yang terbuka beralas bantal di atas lipatan sarung, daun nangka dan daun pisang). Dapat pula memberikan sejumput beras (bisa dihamburkan ke kepalanya).
Setelah semua pasangan yang ditetapkan telah melakukan mapacci maka seluruh hadirin bersama-sama mendoakan semoga calon pengantin direstui oleh Yang Maha Kuasa agar menjadi isteri atau suami yang bahagia, bermartabat dan penuh berkat. ”Cukkong muwa minasae, nakkelo Puwangnge naiyya ma’dupa” (Pengharapan yang teguh, dengan perkenan Tuhan, akan terpenuhi).
Orang Kristen melakukan Mapacci?
Di kalangan orang Bugis yang beragama Kristen upacara mapacci juga dilakukan dengan dirangkaikan kebaktian jemaat. Upacara ini berbeda dengan tradisi sekuler “lepas bujang”, yang lebih merupakan pesta si gadis (atau si perjaka) masing-masing dengan kawan-kawan muda-mudi sepergaulannya. Upacara mapacci secara Kristiani difahami terutama sebagai ucapan syukur dan doa atas hidup si gadis/ si perjaka, sang calon mempelai. Disyukuri perkenan Tuhan memberi kekuatan orangtuanya membesarkan dia, dan penentuan Tuhan sehingga telah menemukan jodohnya untuk siap berumah tangga. Upacara ini adalah mendoakan supaya upacara perkawinannya besok hari berlangsung dengan baik, dan supaya rumah tangganya diberkati Tuhan dengan kebahagiaan dan semua yang baik, sebagaimana dinyatakan melalui simbol benda-benda yang dipakai dalam mapacci. Pembacaan dan perenungan Firman Allah dari Alkitab dikaitkan dengan syukur dan doa itu. Dengan kata lian, upacara mapacci merupakan suatu tindakan berteologi -- bukan terutama dengan kata-kata -- tetapi dengan simbol-simbol yang konkrit. Aspek lain yang juga penting dalam mapacci adalah menghimpunkan kerabat dan handai taulan tanpa membedakan latar agama, untuk bersama-sama bersyukur dan mendoakan calon pengantin. Di dalam upcara ini berbagai nilai-nilai positif tradisi budaya dihidupkan dan diperkenalkan. Jadi gereja menerima upacara mapacci sebagai suatu warisan budaya yang positif dan perlu dilestrikan.
Rujukan:
http://ila-galigo.blogspot.com/2009/02/upacara-adat-mapacci.html.
http://idawy.wordpress.com/2009/06/20/mappacci/
Terima kasih kepada Bpk Penatua Kurnaini Alwi, yang menjelaskan berberapa makna simbolis unsur-unsur yang dipakai dalam mapacci. Pdt. Armin Sukri dan Jenifer Ladja mengoreksi beberapa istilah bahasa daerah. Tulisan ini sebagai “doa mapacci” untuk seorang gadis asal Bugis Soppeng warga GKSS Jemaat Mattiro Baji yang baru-baru ini mengalami upacara mapacci menjelang pemberkatan nikahnya. Tuhan berkati.
[Zakaria J. Ngelow]
Monday, September 12, 2011
Partisipasi Gereja dalam Pembangunan Daerah Tertinggal
DAERAH TERTINGGAL, 7 TAHUN KEMUDIAN
Disampaikan oleh: Pdt. Dr. Andreas A. Yewangoe
http://pgi.or.id/article/78641/partisipasi-gereja-dalam-pembangunan-daerah-tertinggal.html
I. Semiloka Makassar Tujuh Tahun Kemudian
Pada 20-21 September 2004 diselenggarakan "Seminar dan Lokakarya (Semiloka) Nasional Peranan Pimpinan Gereja Dalam Membangun Daerah Tertinggal" di kota Makassar, Sulawesi Selatan. 7 (tujuh) tahun kemudian, sebuah semiloka serupa kita selenggarakan lagi di Waingapu, Sumba Timur, NTT (9-10 September 2011). Mau tidak mau kita bertanya, adakah sesuatu yang berkembang dalam 7 tahun terakhir ini? Adakah gereja-gereja mengambil manfaat dari Semiloka di Makassar itu yang diakomodasikan di dalam program kerja gereja masing-masing? Atau kita hanya berlangkah di tempat, sehingga istilah "daerah tertinggal" tetap saja dilekatkan pada daerah-daerah itu yang sedikit-banyaknya juga punya dampak bagi kehidupan gereja-gereja sendiri? Pertanyaan ini patut diajukan sebagai sebuah introspeksi, jangan-jangan pelaksanaan semiloka seperti ini hanyalah untuk menghabiskan anggaran pemerintah, tanpa membawa hasil konkret apapun.
Dalam 7 tahun terakhir ini bisa saja terjadi, daerah-daerah yang dulunya "maju" sekarang menjadi tertinggal (sayang sekali!) dan yang dulu tertinggal sekarang maju (syukurlah!). Atau malah semuanya tertinggal (ini lebih tragis lagi!), sebagaimana secara kasat mata kita menyaksikan dewasa ini misalnya sarana-sarana jalan yang bukannya makin baik melainkan makin buruk. Kita juga mendengar gedung-gedung sekolah dasar yang ambruk di mana-mana karena pembangunannya yang memang tidak memenuhi syarat. Atau orang-orang sakit yang tidak bisa dilayani karena ongkos rumah sakit makin mahal, sementara Puskesmas-puskesmas juga tidak merupakan pilihan yang masuk akal. Karena itu ditetapkannya sebuah kementerian di dalam struktur pemerintahan RI guna secara khusus mengarahkan perhatian kepada daerah-daerah tertinggal adalah sesuatu yang baik, tetapi sekaligus juga merupakan pengakuan bahwa pembangunan di negeri kita selama ini tidak merata. Sebagai demikian kita menghadapi persoalan yang sangat serius, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Di era Orde Baru dikenal istilah "Go East". Sekarang ini istilah itu hampir tidak dipakai lagi, bukan karena Timur sudah mapan, melainkan memang ternyata yang tertinggal bukan hanya daerah-daerah di Timur, melainkan juga di Barat.
MOU antara Kementerian PDT dengan PGI yang sekarang diperbarui dengan penandatanganannya di Tobelo, Halmahera Utara dalam bulan Februari 2011 lalu merupakan "payung" bagi kerjasama selanjutnya antara gereja-gereja dengan Kementerian tersebut dalam 5 tahun mendatang. Maka sesudah Semiloka ini kami mengharapkan dan menyerukan kepada gereja-gereja dengan segera mengambil langkah-langkah praksis (aksi) sehingga sungguh-sungguh terciptalah berbagai perkembangan konkret di dalam mengubah ketertinggalan ke arah kemajuan.
II. Partisipasi Gereja Dalam Pembangunan
Bahwa gereja berpartisipasi dalam pembangunan bukan lagi merupakan persoalan. Sebagaimana berkali-kali telah dikemukakan dalam berbagai kesempatan, perubahan paradigma berpikir dan bertindak gereja-gereja di Indonesia bermula dari Sidang Raya Pematang Siantar (1971). Pada saat itu Injil direinterpretasi sebagai "Berita Pembebasan" yang sangat konkret menyangkut kehidupan sehari-hari. Lukas 4:18-19 dilihat sebagai sebuah berita yang mestinya dijalankan oleh gereja-gereja di dalam menghadapi berbagai persoalan di dalam dunia dan masyarakat yang di dalamnya mereka berada. PGI telah beberapa kali menyelenggarakan konsultasi-konsultasi mengenai partisipasi gereja dalam pembangunan (yang secara khusus menyoroti pembangunan), dan konferensi-konferensi gereja dan masyarakat. Tetapi tentu saja apa yang dilakukan gereja tidak terlepas dari segala sesuatu yang dilakukan masyarakat dan pemerintah. Kesejahteraan gereja tergantung kepada kesejahteraan masyarakat (Yer. 29:7). Tidaklah patut apabila gereja makmur sendiri dan membiarkan lingkungannya miskin papa. Seringkali secara simbolis kita melihat hal itu dalam bentuk gedung gereja yang "mewah" di tengah-tengah masyarakatnya yang kumuh. Memang ada kebanggaan tersendiri bagi masyarakat yang, walaupun miskin namun berhasil membangun sesuatu yang bagus "untuk Tuhan". Tetapi kalau sebuah gedung yang hanya dipakai seminggu sekali menguras begitu banyak dana, sementara masyarakatnya makin miskin saja rasanya tidak juga berkenan kepada Tuhan. Dalam sebuah novel berjudul "Robohnya Surau Kami" (A. A. Navis), diceriterakan mengenai Haji Salim yang selama ini setia menunggui surau lalu meninggal setelah suraunya itu ambruk diterjang topan. Ia menghadap malaekat di sorga dengan sebuah kayakinan bahwa ia akan dimasukkan ke dalam surga. Bukankah selama ini sangat rajin beribadah? Apalagi setia menunggui surau? Ternyata ia dirujuk ke naraka. Tentu saja ia protes, menyangka Tuhan pasti "keliru". Ternyata Tuhan tidak keliru. Ia memang dibuang ke naraka karena telah mengabaikan anugerah Tuhan berupa tanah air Indonesia yang kaya dan hanya sibuk dengan berdoa dan berzikir. Tuhan bersabda: "Kau sangka Aku gila hormat sehingga setiap detik nama-Ku dipanggil? Maka waktumu disia-siakan hanya untuk memanggil-manggil Aku sementara kesempatan untuk mengolah tanah diabaikan." Saya kira cara berpikir jemaat kita harus diubah, supaya lebih giat bekerja, kendati ibadah tentu saja tetap penting.
Max Weber yang menulis buku berjudul, "Die Protestantische Etik und der Geist des Kapitalismus" berhasil membuktikan, bahwa spiritualitas orang Kristen calvinis yang dianut di Eropa dan Amerika telah berhasil membawa negeri-negeri itu menjadi kaya raya dibandingkan dengan negeri-negeri selatan yang miskin (setidak-tidaknya ketika buku ini ditulis). Keyakinan bahwa mereka terpilih (predestinasi) dibuktikan dengan kerja keras dan sikap hemat. Askese dialihkan dari biara-biara ke tengah-tengah dunia (innerweltlich askese). Sayang juga bahwa di kalangan orang-orang Kristen penganut Calvin di Indonesia hal ini tidak menjadi kenyataan. Malah sebagian besar daerah yang di dalamnya gereja-gereja berpengaruh merupakan daerah-daerah miskin. "Lingkar luar" Indonesia yang miskin berpenghuni mayoritas orang-orang Kristen. Saya kira hal ini harus menjadi bahan perenungan kita.
III. Apa Yang Akan Dilakukan?
Dalam Semiloka Makassar (2004) saya mengusulkan agar pendidikan dimajukan. Usul itu masih saya pegang sampai sekarang. Sekarang ini roh (neo) kapitalisme dan liberalisme di bidang ekonomi juga sudah memasuki lembaga-lembaga pendidikan sehingga pendidikan makin menjadi komoditas yang ditawarkan dengan harga mahal. Akibatnya hanya orang-orang kaya yang menikmati pendidikan yang baik sementara orang-orang miskin tetap terbengkalai. Gereja-gereja harus sungguh-sungguh berusaha agar yang paling miskin justru memperoleh pendidikan yang baik. Di Leilam, Sulawesi Utara ada sebuah lembaga bernama "Jehovah Jireh" yang didirikan oleh seorang pensiunan pendeta. Ia mendidik anak-anak miskin sejak "Kelompok Bermain" dan "TK" secara gratis. Syarat untuk masuk ke situ adalah benar-benar tidak sanggup. Visinya adalah, orang-orang miskin diberi kesempatan menempuh pendidikan yang baik agar bisa sama dengan mereka yang berkecukupan.
Usaha-usaha lain di bidang ekonomi bisa saja dilakukan dengan bantuan dan atau tanpa bantuan Kementerian PDT. Kendati Kementerian PDT mempunyai maksud mulia, tetapi jangan dilupakan bahwa mereka juga mempunyai dana terbatas. Maka bantuan-bantuan Kementerian ini haruslah dilihat sebagai perangsang guna mendorong pembangunan yang dilakukan sendiri secara swadaya. Persoalan kemiskinan akut yang masih kita alami dewasa ini di Indonesia tidak bisa ditanggulangi secara kharitatif saja, melainkan sungguh-sungguh ditanggulangi secara struktural. Maka peranan berbagai pihak, terutama pemerintah untuk menerapkan filosofi pembangunan yang bertolak dari keadilan sangat dibutuhkan. Dewasa ini ditengarai banyak UU yang tidak terlalu memihak rakyat. Sebaliknya para investor sangat diuntungkan dengan UU tersebut, sementara rakyat disingkirkan. Fenomena itu terlihat misalnya dalam makin tersingkirnya pasar-pasar tradisional digantikan oleh mal-mal besar yang kebanyakan merupakan milik pihak asing. Maka yang terjadi bukanlah pembangunan Indonesia, melainkan pembangunan di Indonesia. Dengan kata-kata lain, orang-orang Indonesia akan menjadi penonton saja dari segala riuh-rendah pembangunan ini. Contoh sangat jelas kita lihat di Timika. Kekayaan Timika tidak dinikmati oleh orang Papua. Paling-paling mereka hanya memperoleh remah-remahnya saja berupa "Dana Otsus", itu pun hanya dinikmati oleh para elitnya di Papua dalam kerjasama dengan orang-orang Jakarta. Sikap Walikota Solo yang berani melawan Gubernur yang memaksakan pembangunan mal patut diapresiasi. Ia tidak sekadar melawan buta, melainkan sungguh-sungguh melihat dari segi faedahnya bagi rakyat kebanyakan.
Tugas gereja adalah mengingatkan semua pihak bahwa pembangunan memang penting bagi sebuah masyarakat, tetapi ia harus memperlihatkan segi-segi keadilannya.
Sidang MPL-PGI di Tobelo memuat Pikiran Pokok: "Memperkuat Persekutuan, Merawat Kemajemukan, Memelihara Lingkungan". Hal memelihara lingkungan juga merupakan kewajiban yang tidak bisa diabaikan apabila kita ingin umat manusia lestari dan alam lingkungan menjadi "home" bagi semua yang hidup.
Demikianlah beberapa pokok pemikiran saya. Kiranya bermanfaat.
*) Disampaikan Dalam Semiloka Gereja-gereja dan Kementerian PDT di Waingapu, Sumba Timur, 9 September 2011.
Sunday, September 4, 2011
Buku La Galigo
Karya sastra klasik lahir dari tanah Bugis, Sulawesi Selatan. Merupakan karya sastra terpanjang di dunia, melebihi Mahabarata dari India dan karya Homeros dari Yunani. Pada tahun 2011 Badan dunia UNESCO menetapkan naskah klasik I La Galigo ini sebagai Warisan Dunia dan diberi anugerah Memory of The Word (MOW).
Karya sastra I La Galigo kini telah hadir dalam terjemahan Indonesia yang diterbitkan oleh Pustaka Refleksi sebanyak 6 jilid. Bagi yang berminat untuk memilikinya, silahkan mengunjungi toko buku Gramedia.
[info dari Pdt. Armin Sukri]
untuk tambahan informasi silahkan klik:
http://id.wikipedia.org/wiki/Sureq_Galigo
Subscribe to:
Posts (Atom)