DAERAH TERTINGGAL, 7 TAHUN KEMUDIAN
Disampaikan oleh: Pdt. Dr. Andreas A. Yewangoe
http://pgi.or.id/article/78641/partisipasi-gereja-dalam-pembangunan-daerah-tertinggal.html
I. Semiloka Makassar Tujuh Tahun Kemudian
Pada 20-21 September 2004 diselenggarakan "Seminar dan Lokakarya (Semiloka) Nasional Peranan Pimpinan Gereja Dalam Membangun Daerah Tertinggal" di kota Makassar, Sulawesi Selatan. 7 (tujuh) tahun kemudian, sebuah semiloka serupa kita selenggarakan lagi di Waingapu, Sumba Timur, NTT (9-10 September 2011). Mau tidak mau kita bertanya, adakah sesuatu yang berkembang dalam 7 tahun terakhir ini? Adakah gereja-gereja mengambil manfaat dari Semiloka di Makassar itu yang diakomodasikan di dalam program kerja gereja masing-masing? Atau kita hanya berlangkah di tempat, sehingga istilah "daerah tertinggal" tetap saja dilekatkan pada daerah-daerah itu yang sedikit-banyaknya juga punya dampak bagi kehidupan gereja-gereja sendiri? Pertanyaan ini patut diajukan sebagai sebuah introspeksi, jangan-jangan pelaksanaan semiloka seperti ini hanyalah untuk menghabiskan anggaran pemerintah, tanpa membawa hasil konkret apapun.
Dalam 7 tahun terakhir ini bisa saja terjadi, daerah-daerah yang dulunya "maju" sekarang menjadi tertinggal (sayang sekali!) dan yang dulu tertinggal sekarang maju (syukurlah!). Atau malah semuanya tertinggal (ini lebih tragis lagi!), sebagaimana secara kasat mata kita menyaksikan dewasa ini misalnya sarana-sarana jalan yang bukannya makin baik melainkan makin buruk. Kita juga mendengar gedung-gedung sekolah dasar yang ambruk di mana-mana karena pembangunannya yang memang tidak memenuhi syarat. Atau orang-orang sakit yang tidak bisa dilayani karena ongkos rumah sakit makin mahal, sementara Puskesmas-puskesmas juga tidak merupakan pilihan yang masuk akal. Karena itu ditetapkannya sebuah kementerian di dalam struktur pemerintahan RI guna secara khusus mengarahkan perhatian kepada daerah-daerah tertinggal adalah sesuatu yang baik, tetapi sekaligus juga merupakan pengakuan bahwa pembangunan di negeri kita selama ini tidak merata. Sebagai demikian kita menghadapi persoalan yang sangat serius, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Di era Orde Baru dikenal istilah "Go East". Sekarang ini istilah itu hampir tidak dipakai lagi, bukan karena Timur sudah mapan, melainkan memang ternyata yang tertinggal bukan hanya daerah-daerah di Timur, melainkan juga di Barat.
MOU antara Kementerian PDT dengan PGI yang sekarang diperbarui dengan penandatanganannya di Tobelo, Halmahera Utara dalam bulan Februari 2011 lalu merupakan "payung" bagi kerjasama selanjutnya antara gereja-gereja dengan Kementerian tersebut dalam 5 tahun mendatang. Maka sesudah Semiloka ini kami mengharapkan dan menyerukan kepada gereja-gereja dengan segera mengambil langkah-langkah praksis (aksi) sehingga sungguh-sungguh terciptalah berbagai perkembangan konkret di dalam mengubah ketertinggalan ke arah kemajuan.
II. Partisipasi Gereja Dalam Pembangunan
Bahwa gereja berpartisipasi dalam pembangunan bukan lagi merupakan persoalan. Sebagaimana berkali-kali telah dikemukakan dalam berbagai kesempatan, perubahan paradigma berpikir dan bertindak gereja-gereja di Indonesia bermula dari Sidang Raya Pematang Siantar (1971). Pada saat itu Injil direinterpretasi sebagai "Berita Pembebasan" yang sangat konkret menyangkut kehidupan sehari-hari. Lukas 4:18-19 dilihat sebagai sebuah berita yang mestinya dijalankan oleh gereja-gereja di dalam menghadapi berbagai persoalan di dalam dunia dan masyarakat yang di dalamnya mereka berada. PGI telah beberapa kali menyelenggarakan konsultasi-konsultasi mengenai partisipasi gereja dalam pembangunan (yang secara khusus menyoroti pembangunan), dan konferensi-konferensi gereja dan masyarakat. Tetapi tentu saja apa yang dilakukan gereja tidak terlepas dari segala sesuatu yang dilakukan masyarakat dan pemerintah. Kesejahteraan gereja tergantung kepada kesejahteraan masyarakat (Yer. 29:7). Tidaklah patut apabila gereja makmur sendiri dan membiarkan lingkungannya miskin papa. Seringkali secara simbolis kita melihat hal itu dalam bentuk gedung gereja yang "mewah" di tengah-tengah masyarakatnya yang kumuh. Memang ada kebanggaan tersendiri bagi masyarakat yang, walaupun miskin namun berhasil membangun sesuatu yang bagus "untuk Tuhan". Tetapi kalau sebuah gedung yang hanya dipakai seminggu sekali menguras begitu banyak dana, sementara masyarakatnya makin miskin saja rasanya tidak juga berkenan kepada Tuhan. Dalam sebuah novel berjudul "Robohnya Surau Kami" (A. A. Navis), diceriterakan mengenai Haji Salim yang selama ini setia menunggui surau lalu meninggal setelah suraunya itu ambruk diterjang topan. Ia menghadap malaekat di sorga dengan sebuah kayakinan bahwa ia akan dimasukkan ke dalam surga. Bukankah selama ini sangat rajin beribadah? Apalagi setia menunggui surau? Ternyata ia dirujuk ke naraka. Tentu saja ia protes, menyangka Tuhan pasti "keliru". Ternyata Tuhan tidak keliru. Ia memang dibuang ke naraka karena telah mengabaikan anugerah Tuhan berupa tanah air Indonesia yang kaya dan hanya sibuk dengan berdoa dan berzikir. Tuhan bersabda: "Kau sangka Aku gila hormat sehingga setiap detik nama-Ku dipanggil? Maka waktumu disia-siakan hanya untuk memanggil-manggil Aku sementara kesempatan untuk mengolah tanah diabaikan." Saya kira cara berpikir jemaat kita harus diubah, supaya lebih giat bekerja, kendati ibadah tentu saja tetap penting.
Max Weber yang menulis buku berjudul, "Die Protestantische Etik und der Geist des Kapitalismus" berhasil membuktikan, bahwa spiritualitas orang Kristen calvinis yang dianut di Eropa dan Amerika telah berhasil membawa negeri-negeri itu menjadi kaya raya dibandingkan dengan negeri-negeri selatan yang miskin (setidak-tidaknya ketika buku ini ditulis). Keyakinan bahwa mereka terpilih (predestinasi) dibuktikan dengan kerja keras dan sikap hemat. Askese dialihkan dari biara-biara ke tengah-tengah dunia (innerweltlich askese). Sayang juga bahwa di kalangan orang-orang Kristen penganut Calvin di Indonesia hal ini tidak menjadi kenyataan. Malah sebagian besar daerah yang di dalamnya gereja-gereja berpengaruh merupakan daerah-daerah miskin. "Lingkar luar" Indonesia yang miskin berpenghuni mayoritas orang-orang Kristen. Saya kira hal ini harus menjadi bahan perenungan kita.
III. Apa Yang Akan Dilakukan?
Dalam Semiloka Makassar (2004) saya mengusulkan agar pendidikan dimajukan. Usul itu masih saya pegang sampai sekarang. Sekarang ini roh (neo) kapitalisme dan liberalisme di bidang ekonomi juga sudah memasuki lembaga-lembaga pendidikan sehingga pendidikan makin menjadi komoditas yang ditawarkan dengan harga mahal. Akibatnya hanya orang-orang kaya yang menikmati pendidikan yang baik sementara orang-orang miskin tetap terbengkalai. Gereja-gereja harus sungguh-sungguh berusaha agar yang paling miskin justru memperoleh pendidikan yang baik. Di Leilam, Sulawesi Utara ada sebuah lembaga bernama "Jehovah Jireh" yang didirikan oleh seorang pensiunan pendeta. Ia mendidik anak-anak miskin sejak "Kelompok Bermain" dan "TK" secara gratis. Syarat untuk masuk ke situ adalah benar-benar tidak sanggup. Visinya adalah, orang-orang miskin diberi kesempatan menempuh pendidikan yang baik agar bisa sama dengan mereka yang berkecukupan.
Usaha-usaha lain di bidang ekonomi bisa saja dilakukan dengan bantuan dan atau tanpa bantuan Kementerian PDT. Kendati Kementerian PDT mempunyai maksud mulia, tetapi jangan dilupakan bahwa mereka juga mempunyai dana terbatas. Maka bantuan-bantuan Kementerian ini haruslah dilihat sebagai perangsang guna mendorong pembangunan yang dilakukan sendiri secara swadaya. Persoalan kemiskinan akut yang masih kita alami dewasa ini di Indonesia tidak bisa ditanggulangi secara kharitatif saja, melainkan sungguh-sungguh ditanggulangi secara struktural. Maka peranan berbagai pihak, terutama pemerintah untuk menerapkan filosofi pembangunan yang bertolak dari keadilan sangat dibutuhkan. Dewasa ini ditengarai banyak UU yang tidak terlalu memihak rakyat. Sebaliknya para investor sangat diuntungkan dengan UU tersebut, sementara rakyat disingkirkan. Fenomena itu terlihat misalnya dalam makin tersingkirnya pasar-pasar tradisional digantikan oleh mal-mal besar yang kebanyakan merupakan milik pihak asing. Maka yang terjadi bukanlah pembangunan Indonesia, melainkan pembangunan di Indonesia. Dengan kata-kata lain, orang-orang Indonesia akan menjadi penonton saja dari segala riuh-rendah pembangunan ini. Contoh sangat jelas kita lihat di Timika. Kekayaan Timika tidak dinikmati oleh orang Papua. Paling-paling mereka hanya memperoleh remah-remahnya saja berupa "Dana Otsus", itu pun hanya dinikmati oleh para elitnya di Papua dalam kerjasama dengan orang-orang Jakarta. Sikap Walikota Solo yang berani melawan Gubernur yang memaksakan pembangunan mal patut diapresiasi. Ia tidak sekadar melawan buta, melainkan sungguh-sungguh melihat dari segi faedahnya bagi rakyat kebanyakan.
Tugas gereja adalah mengingatkan semua pihak bahwa pembangunan memang penting bagi sebuah masyarakat, tetapi ia harus memperlihatkan segi-segi keadilannya.
Sidang MPL-PGI di Tobelo memuat Pikiran Pokok: "Memperkuat Persekutuan, Merawat Kemajemukan, Memelihara Lingkungan". Hal memelihara lingkungan juga merupakan kewajiban yang tidak bisa diabaikan apabila kita ingin umat manusia lestari dan alam lingkungan menjadi "home" bagi semua yang hidup.
Demikianlah beberapa pokok pemikiran saya. Kiranya bermanfaat.
*) Disampaikan Dalam Semiloka Gereja-gereja dan Kementerian PDT di Waingapu, Sumba Timur, 9 September 2011.
No comments:
Post a Comment