Masih sebagai rangkaian pekan
HUT GKSS (46) dan Hari PI (79) di klasis Bulusaraung, diadakan seminar PI untuk
memberikan informasi dari para saksi sejarah dan pelaku PI di tanah Bugis
(Melle’) Makassar (Poona) dan Selayar (Dg. Taung). Seminar yang dilakukan pada senin, 18 Juni
2012 ini didampingi oleh ketua Klasis Blusaraung, Pdt. Armin Sukri, selaku
moderator dan juga penerjemah dari bapak Melle yang tidak begitu paham bahasa
Indonesia. Selain itu juga dihadirikan
seorang ahli sejarah gereja, Pdt. Zakaria Ngelow yang memberi beberapa catatan.
Seminar yang diadakan di
Aula TC GKSS ini berlangsung cukup menarik hingga memakan waktu selama tiga jam. Sayang sekali bahwa seminar yang memberi
banyak rekomendasi bagi keberlangsungan GKSS di masa depan tidak dihadiri oleh
para undangan dari pihak MPS GKSS komisi-komisinya.
Berikut beberapa refleksi
sejarah GKSS oleh Zakaria Ngelow:
1. Kesaksian dari Selayar
GKSS gagal mempertahankan warga yang dibaptis masal dari aliran Muhdi Akbar pada awal tahun 1970-an karena tidak berlangsung pembinaan yang didasarkan pada pemahaman yang mendasar mengenai ajaran Muhdi Akbar. Hal ini terkait juga dengan tiadanya putra-putri Selayar sendiri yang seperti Rasul Paulus – mampu memahami secara mendalam sekaligus ajaran Muhdi Akbar dan budaya Selayar pada umumnya dan Injil Yesus Kristus, untuk selanjutnya melakukan transformasi. Apakah aspek keturunan akan juga menentukan, bahwa tokoh yang bisa bicara kepada masyarakat Selayar haruslah turunan pemuka masyarakatnya? Mungkin begitu, namun Injil harus kritis terhadap struktur sosial yang menindas, termasuk paternalisme dan feodalisme.
2. Kesaksian dari Soppeng
Orang Soppeng masuk Kristen dalam rangka mencari kebenaran Injil, mengikuti tradisi messianik Petta Barang. Itu suatu kebanggaan, yang juga dapat ditambahkan bahwa Kekristenan di kalangan orang Soppeng telah teruji melalui taruhan nyawa pada zaman gerombolan DI/TII tahun 1950-an.
Kekristenan Bugis Soppeng sejak awal terkait dengan jaringan keluarga. Hubungan keluarga dapat memajukan gereja, tetapi sebaliknya juga dapat merusaknya. Setiap pelayanan dalam komunitas masyarakat Bugis Soppeng ini harus memberi perhatian pada aspek hubungan-hubungan kekeluargaan itu. Dapat disimpulkan bahwa Kekristenan di kalangan orang Soppeng berakar kuat, namun terpencar dalam berbagai gereja. Dukungan wadah sosial seperti kerukunan warga Kristen Soppeng dapat menjadi jembatan untuk persaudaraan ganda sebagai sesaudara dalam identitas Soppeng dan dalam persaudaraan iman kepada Kristus.
3. Kesaksian dari Bawakaraeng
Kekristenan di kalangan orang Makassar/Gowa dihidupkan melalui pelayanan sosial, ekonomi dan pendidikan. Melemahnya gereja dalam pelayanan sosial melemahkan juga daya saingnya dalam masyarakat. Apakah masyarakat Kristen asal Makassar/Gowa seperti saudara-saudarinya dari Soppeng yang menghilang dari GKSS tetapi tetap eksis di gereja-gereja lain? Atau memang makin punah?
4. Masih gereja Bugis?
GKSS dimaksudkan oleh kalangan zending pada awalnya sebagai gereja dari dan untuk masyarakat Bugis-Makassar-Selayar. Tetapi pada kenyataannya telah berkembang menjadi gereja multi-etnis yang bhinneka tunggal ika. Jadi apa identitasnya? Kita menerima fakta sejarah sebagai jalan yang Tuhan kehendaki: gereja ini adalah gereja dari semua untuk semua, namun yang tetap sadar akan sejarah dan konteksnya sebagai gereja di tengah-tengah masyarakat Bugis-Makassar-Selayar. Dengan kata lain, perlu upaya-upaya pada satu fihak untuk mengembangkan pelayanan yang bersifat ekumenis, sesuai latar belakang warga, dan pada fihak lain mengakarkan mereka ke dalam visi dan komitmen bersama terhadap konteks sosial-kultural Sulawesi Selatan (dan Barat?)
5. Peringatan Peristiwa apa?
Peristiwa yang diperingati GKSS sebagai ulang tahun: 12 Juni tanggal pembentukan Sinode pada tahun 1966 di Makkio Baji, Makassar. Pada hal sebelumnya, pada tahun 1965 Bakal Gereja Bugis telah ditetapkan menjadi Gereja Kristen di Sulawesi Selatan dalam persidangan wakil-wakil jemaat di Watansoppeng tanggal 23-25 April 1965. Persidangan dihadiri wakil-wakil dari 6 jemaat dari daerah Soppeng; 8 jemaat dari daerah Malino; 2 jemaat dari Makassar, dan 3 jemaat dari Selayar dan sepakat membentuk gereja dengan pengurus dan tata gerejanya. Terpilih Pdt. N. Dg. Massikki sebagai Ketua Sinode.
Tanggal 19 Juni yang diperingati sebagai hari Pekabaran Injil adalah peristiwa berlabuhnya di pelabuhan Makassar kapal yang membawa tenaga zending, Ds. H. van den Brink, dari Gereformeerde Kerk untuk penginjilan di Sulawesi Selatan. Tetapi yang sebenarnya jauh lebih bermakna adalah peristiwa penerimaan Injil oleh orang Bugis sendiri. Tahun 1935 seorang bangsawan Bugis, Petta Lolo Marhabang, dibaptiskan di Soppengriaja; tgl 8 Februari 1938 Andi Kamba dibaptis di Barru oleh Ds. H. van den Brink. Atau yang lebih langsung terkait dengan Kekristenan Bugis adalah pembaptisan ke-3 “pencari kebenaran Injil”, La Galiti, La Mappe’, La Tasakka’, di gereja Indische Kerk (sekarang GPIB) Immanuel Makassar, pada tanggal 17 Februari 1940.
Bukan maksudnya supaya perayaan-perayaan yang sudah dibakukan itu diganti atau direvisi, melainkan supaya peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah GKSS diberi makna dan turut diperingati.
6. Pekabaran Injil?
Pekabaran Injil dalam GKSS tidak tepat lagi dilakukan dalam format masa lalu, melainkan meberdayakan setiap warga jemaat untuk bersikap misioner, yakni selalu terpanggil untuk menyatakan kebenaran Injil kepada orang lain dalam hidup masing-masing, melalui tutur kata mau pun perbuatan. Bagaimana pembinaan dilakukan untuk mencapai kualitas Kristen handal, seperti warga Muhdi Akbar dari Selayar, yang sekalipun berpindah-pindah agama tetap memegang “kebenaran” Muhdi Akbar? Bisakah pembinaan seperti ini dimulai di jemaat-jemaat tanpa “menunggu komando” dari pimpinan sinode?
7. 500 tahun Injil di Sulawesi Selatan.
Sejarah Kekristenan di kalangan orang Bugis sudah berlangsung sejak abad ke-16. Sejumlah-raja-raja Bugis di pesisir selamat Makassar, dari Parepare sampai Makassar (Bacukiki, Gowa, Siang, Suppa, Tallo) pernah mengenal agama Kristen, bahkan ada raja dan pangeran yang dibaptis oleh para paderi Katolik zaman Portugis. Kekristenan Katolik yang berlangsung lebih 100 tahun (1530-an – 1668) berakhir oleh peristiwa silariang seorang putri raja Suppa dengan kapiten kapal Portugis, dan kemudian juga oleh pilihan raja Gowa menerima Islam dan memaksakan pengislaman kerajaan-kerejaan lainnya (awal abad ke-17). Fihak VOC dan pemerintah kolonial Belanda mempertahankan Kerkistenan Protestan di Makassar, dan kemudian juga di Bonthain, Bulukumba dan Selayar. Yang patut dicatat adalah utusan Lembaga Alkitab Belanda, B.F. Matthes, yang berhasil menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Bugis dan Makassar, dan “menyelamatkan” banyak lontara sastra Bugis/Makassar, termasuk I Lagaligo. [Selengkapnya, cari “sejarah” atau "matthes" di blog ini.]
Sebelum masyarakat Bugis-Makassar dan Selayar pada abad ke-20 sudah berlangsung pekabaran Injil di kalangan suku-suku Toraja, mula-mula oleh Indische Kerk, lalu kemudian pada tahun 1913 Tana Toraja, Luwu, Rongkong dan Seko dilayani oleh badan zending Gereformeerde Zendingsbond (GZB). Dan sejak tahun 1928 Toraja Mamasa, Pitu Ulunna Salu, dan Kalumpang oleh Zending der Christelijke Gereformeerdekerken (ZCGK). Masing-masing berhasil membentuk GerejaToraja dan Gereja Toraja Mamasa pada tahun 1947. Gereja Toraja dan GTM akan memperingati 100 tahun masuknya Injil ke masing-masing wilayah, dengan puncak perayaan tahun 2013.
No comments:
Post a Comment