Raja-raja Bugis masuk Kristen (abad ke-16)
Sejumlah penguasa kerajaan di Sulawesi Selatan pada abad ke 16, pernah dibaptis masuk Kristen, antara lain penguasa kerajaan Tallo, Suppa, Siang (Pangkajenne), Bacukiki, Alitta, Gowa. Penyebaran agama Katolik di Sulawesi-Selatan oleh Portugis, yang datang dari Malaka menuju ke daerah Ajatappareng dan Suppa lalu ke Siang (Pangkajenne). Injil masuk ke Gowa dari Ternate pada tahun 1539, sementara ke Ajattapareng, Suppa dan Siang, tahun l534.
Kristenisasi raja-raja Bugis/Makassar dimulai dengan kedatangan seorang pedagang Portugis, Antonio de Paiva yang tertarik pada kekayaan daerah Indonesia Timur, khususnya kayu cendana. Mula-mula Antonio datang ke Siang, kemudian singgah di Suppa. Pada kesempatan itulah penguasa di Suppa dan Siang dibaptis setelah perdebatan teologis yang hangat.
Tahun 1537 raja Gowa mengirim suatu perutusan kepada Antonio Galvao, panglima Portugis di Ternate, untuk meminta perlindungan terhadap Ternate. Di Ternate 2 pangeran Makasar dibaptis. Sekembalinya ke Makasar mereka mengadakan propaganda untuk agama Kristen, dan banyak berhasil, sehingga meminta imam Katolik dari Ternate.
Tetapi oleh serangan angin taufan, kapal yang membawa 2 orang imam itu berlabuh di Filipina dan bukan di Makasar. Baru 6 tahun kemudian sebuah kapal Portugis tiba lagi di Makasar untuk memuat kayu cendana. Pada kesempatan itu raja Supa dan raja Siang (dekat Pare-pare) dibaptis. Apa alasan kedua penguasa ini mau dibaptis masuk agama Katholik? Kemungkinan untuk membuat persekutuan militer dalam menghadapi serangan kerajaan kembar Gowa dan Tallo. Di kisahkan, ketika Antonio de Paiva kembali ke Malaka, ikut serta utusan dari kedua penguasa ke Malaka untuk meminta Gubernur Malaka mengirimkan imam Katolik ke Suppa dan Siang dan jika mungkin bantuan militer. Bahkan ikut pula serta dua putra penguasa dari Suppa. Kedua pemuda itu, kemudian dibawah ke Eropa.
Mendengar permintaan kedua penguasa di Sulawesi Selatan itu, misionaris Katolik yang terkenal, Franciscus Xaverius, berangkat ke Malaka dan dari sana ia mau ke Suppa, tapi batal, karena di terjadi perang antara Wajo dan Sidenreng. Sidenreng bersekutu dengan Suppa dan Siang. Sebelumnya sudah datang pastor Vicente Viegas dari Malaka, dan dialah yang membaptis penguasa Alitta dan Bacukiki.
Kekristenan di Suppa, Siang, Alitta dan Bacukiki berakhir karena seorang perwira Portugis (Juan de Eredia) membawa lari seorang putri penguasa Suppa. Orang-orang Portugis buru-buru meninggalkan Suppa dan membawa putri penguasa Suppa tersebut ke kapal. Anak blasteran putri penguasa Suppa dengan perwira Portugis itu bernama Manuel Godinho de`Eredia, ibunya juga diberi nama Portugis, Donna Ele’na Vesiva. Manuel Godinho menjadi seorang terpelajar, ia menjadi penulis dan ahli geografi. Dialah yang pertama kali menyebut adanya pulau di sebelah selatan Timor yang kemudian dikenal sebagai Australia.
Gereja Katolik di Makassar
Tahun 1525 pertama kali Makassar disinggahi 3 pastor misionaris asal Portugal (Pastor Antonio dod Reijs, Cosmas de Annunciacio, Bernardinode Marvao, dan seorang bruder). Namun baru pada 1548 Pastor Vincente Viegas datang dari Malaka dan tinggal menetap di Makassar untuk melayani para saudagar Portugis yang Katolik. Tercatat Raja Gowa ke-13, Tepu Daeng Parabung Karaeng Tunipasulu masuk Kristen (1590). Setelah memeluk agama Islam Raja-raja Gowa tetap memberi kebebasan kepada orang-orang Katolik mendirikan gereja (1633). Atas dukungan Sultan, Karaeng Pattingaloang, tokoh kerajaan Tallo yang juga seorang intelektual banyak bekerja sama dengan misionaris Katolik, juga dalam bidang ilmu pengetahuan
Dari catatan sejarah, pada tahun 1560 ada sekitar 50.000 orang Katolik di pulau-pulau Nusantara bagian timur. Setelah Malaka jatuh ke tangan VOC (1641) 40 imam dan sekitar 20.000 orang Katolik diperintahkan meninggalkan Malaka; sekitar 3.000 orang dan beberapa Pastor pindah ke Makassar (1649).
Demi monopoli dagang VOC (perjanjian Batavia, 19 Agustus 1660) mengharuskan Sultan Hasanuddin mengusir semua orang Portugis dari Makaasar (1661); tetapi Sultan mengatur dengan baik keberangkatan orang-orang Portugis itu, dan atas bantuan Sultan baru pada 1665 Pastor Antonio Francesco, pastor terakhir meninggalkan Makassar, dan Bruder Antonio de Torres yang mengasuh suatu sekolah kecil untuk anak laki-laki baru meninggalkan Makassar pada 1668 karena pecahnya perang Gowa melawan Belanda. Sejak itu selama 225 tahun, tidak ada pastor yang menetap di Makassar, orang-orang Katolik yang masih ada, hanya sekali-sekali dilayani dari Surabaya atau Larantuka.
Pada tahun 1892, Pastor Aselbergs, SJ, dipindahkan dari Larantuka menjadi Pastor Stasi Makassar (7 September 1892) dan tinggal pada suatu rumah mewah di Heerenwerg (kini Jl. Hasanuddin). Tahun 1895 di beli tanah dan rumah di Komedi straat (kini Jl. Kajaolalido), yang adalah tempat gedung gereja Katedral sekarang. Gereja dibangun pada tahun 1898 selesai 1900; direnovasi dan diperluas pada tahun 1939, selesai pada 1941 dengan bentuk seperti sekarang.
Pada tanggal 19 Nopember 1919 dibentuk Prefektur Apostolik Sulawesi, misionaris Jesuit diganti oleh misionaris MSC, dengan Mgr. Vesters sebagai prefek yang berkedudukan di Manado. Pada tanggal 13 April 1937 wilayah Sulawesi Selatan dan Tenggara dijadikan Prefektur Apostolik Makassar oleh Sri Paus di Roma, dan dipercayakan kepada misionaris CICM, dengan Mgr. Martens sebagai prefek. Pada tanggal 13 mei 1948 menjadi Vikariat Apostolik Makassar, dan tanggal 3 Januari 1961 menjadi Keuskupan Agung Makassar, sampai sekarang
Bonthain, Bulukumba, Selayar (abad ke-19)
Sesudah keruntuhan VOC. pada akhir abad ke-18, hanya terdapat seorang pendeta saja di Makasar, yaitu pendeta Van der Dussen. Selain di Makasar, yang merupakan pusat pekerjaan di Sulawesi-Selatan, ia juga harus melayani Bonthain, Bulukumba dan Salayar. Tahun 1820 pendeta-sending Buttenaar ditempatkan di Makasar, lalu berturut-turut: tahun 1825 pendeta Van Laren; pendeta Lammers van Toorenburg, 1837 pendeta Hardy; dan 1839 pendeta Toewater. Sebelum berangkat ke Indonesia Toewater mempelajari bahasa-bahasa Indonesia dan setibanya di Makasar belajar bahasa Makasar dan bahasa Bugis. Sampai pada waktu itu bahasa Makasar dan bahasa Bugis masih terlampau sedikit dipelajari oleh orang-orang Eropa. Pada masa pemerintahan Raffles (1811-1816) Dr. Leyden, seorang ahli bahasa, telah menterjemahkan sebagian dari Perjanjian Baru ke dalam bahasa Makasar dan bahasa Bugis.
Dari Makasar Toewater banyak mengadakan perjalanan ke pedalaman dan karena itu ia juga banyak mempunyai hubungan dengan penduduk di Sulawesi Selatan, terutama dengan para kepala suku. Tahun 1843 ia dipindahkan ke Semarang. Untuk melanjutkan pekerjaannya di bidang penerjemahan Kitab Suci di Sulawesi-Selatan, Lembaga Alkitab Belanda (NBG) memutuskan untuk mengutus Dr Matthes, yang menjabat sebagai wakil-direktor NZG (badan zending Belanda), ke Sulawesi Selatan.
Matthes melaporkan kepada NZG bahwa di Bonthain dan di Bulukumba terdapat 2 Jemaat kecil yang sangat terlantar. Jemaat-jemaat itu, yang ia kunjungi pada tahun 1849, terdiri dari 200-300 anggota (= orang-orang Indo: keturunan orang-orang Belanda yang kawin dengan wanita-wanita Makasar dan Bugis). Pada masa VOC Bonthain dan Bulukumba -- di samping Makasar -- merupakan pos-pos militer yang penting. Banyak prajurit Belanda di situ kawin dengan wanita-wanita Makasar (dan Bugis): oleh perkawinan itu timbul suatu "persekutuan Indo", yang merupakan inti dari Jemaat-jemaat yang berada di situ. Ketika Van Rhijn, sebagai inspektor NZG pada tahun 1847 mengunjungi Bonthain, ia menerima surat dari pendeta Van Hengel -- yang dari tahun 1843-1847 bekerja di Makasar -- bahwa pemberitaan firman di antara orang-orang Makasar mempunyai harapan baik, karena mereka, "tidak memusuhi agama Kristen". Berdasarkan surat itu NZG menerima usul Matthes dan pada tahun 1851 ia mengambil keputusan untuk memulai pekerjaannya di Sulawesi Selatan. Sebagai pendeta-sending pertama untuk daerah itu NZG menunjuk Donselaar yang pada waktu itu bekerja di Timor ke Sulawesi-Selatan
Pada bulan Mei 1852 Donselaar tiba di Sulawesi Selatan dan memilih Bonthain sebagai tempat-tinggal. Di situ ia mendapati suatu Jemaat kecil yang terdiri dari "orang-orang Indo" dan prajurit-parjurit pribumi: semuanya kira-kira 100 orang. Ia mulai mengorganisir ibadah, katekisasi dan pengajaran sekolah. Pekerjaan di situ tidak begitu mudah, bukan saja karena anggota-anggota Jemaat tidak mengetahui apa-apa tentang agama Kristen, tetapi terutama karena hidup kesusilaan mereka sangat buruk. Di antara 20 anak, yang ia baptis pada tahun 1853, hanya ada satu anak saja yang "tidak lahir di luar nikah". Di samping pekerjaannya di Jemaat, ia juga mempersiapkan diri untuk pekerjaannya yang sebenarnya di antara orang-orang Makasar.
Pada permulaan tahun 1854 datang lagi 2 pendeta-sending baru, yaitu Rooker dan Goudsward. Rooker ditempatkan di Bulukumba, yang mempunyai suatu Jemaat kecil dengan 61 anggota. Tetapi tidak lama sesudah itu ia dipindahkan ke Tondano (= Minahasa). Goudswaard diberi tugas untuk memimpin sekolah di Bonthain (untuk "anak-anak Indo"), sehingga Donselaar dapat menggunakan seluruh waktunya untuk pekerjaan Jemaat, baik di Bonthain, maupun di Salayar.
Di Salayar ia mendapati suatu Jemaat kecil -- yang terdiri dari 47 orang Indo -- dalam keadan yang sangat buruk. Di situ tidak ada sekolah untuk anak-anak. Pengetahuan anggota-anggota jemaat tentang agama Kristen nihil: sama-sekali tidak ada. Hidup kesusilaan mereka sangat memalukan. Menurut peraturan Gereja pada waktu itu Salayar termasuk daerah pelayanan Jemaat di Makasar. Tetapi karena jauh sekali letaknya, ia jarang dikunjungi.
Sementara itu Donselaar dan Goudswaard terus berusaha mempelajari tanah, bahasa dan adat-istiadat orang-orang Makasar. Menurut mereka penduduk di situ tidak malas, tetapi "tidak begitu bersih dan lekas marah". Banyak di antara mereka suka berjudi dan menjadi "budak candu“, suka mencuri, suka membalas dendam, dan lain-lain. Secara resmi tidak ada perbudakan di situ, tetapi ada orang yang hidupnya tidak lebih baik daripada budak. Penduduk menganggap dirinya beragama Islam, sungguhpun demikian mereka banyak menyembah berhala dan menganut percaya yang sia-sia. Mereka benar beragama Islam, tetapi mereka tidak tahu apa-apa tentang agama itu: banyak diantara mereka minum-minuman keras (= alkohol) dan makan daging babi. Superstisi terdapat di mana-mana. Karena itu ia sangsi apakah pekerjaannya di Sulawesi-Selatan akan ada manfaatnya.
Pada tahun 1855 Jemaat di Bonthain mendirikan sebuah gedung-gereja kecil dengan bantuan uang dari pemerintah. Keadaan Jemaat berangsur-angsur menjadi baik. Sungguhpun demikian Donselaar dan Goudswaard tidak begitu puas. Mereka ingin lekas-lekas mulai dengan pekerjaan mereka yang sebenarnya: memberitakan Firman kepada penduduk prbumi. Tetapi masih banyak rintangan yang mereka hadapi. Pertama: mereka belum cukup menguasai bahasa daerah. Kedua: waktu untuk mempelajari bahasa daerah (= bahasa Makasar) sangat terbatas, karena dalam pekerjaan mereka di Jemaat, mereka harus menggunakan dua bahasa: bahasa Melayu dan bahasa Belanda. Ketiga: "jalan-masuk" ke dalam dunia penduduk pribumi -- karena rupa-rupa sebab -- masih tertutup. Karena itu sambil menunggu, mereka melanjutkan pekerjaan mereka dalam Jemaat, yang sementara itu telah sedikit bertambah besar. Pada tahun 1856 Jamaat Bonthain telah mempunyai 180 anggota, di antaranya 56 anggota sidi. Juga sekolah, yang dipimpin Goudswaard, bertambah besar: jumlah muridnya telah meningkat menjadi 48 orang
Antara Matthes dan kedua pendeta-sending itu (= Donselaar dan Goudswaard) ada kontak dan kerjasama. Matthes tinggal di Makasar, sedang Donselaar dan Goudswaard jarang ke sana. Tetapi salinan dari bahan-bahan yang telah selesai disusun oleh Matthes, biasanya ia berikan kepada mereka. Dalam pekerjaan misi, mereka mencapai beberapa persetujuan: Pertama: Mereka setuju, bahwa Bonthain dan Bulukumba adalah tempat-tempat-tempat yang baik, tetapi keberatannya ialah: "adanya orang-orang Eropa di situ adalah reklame yang buruk" untuk pekerjaan Sending. Kedua: Mereka setuju dengan pendeta-sending Jellesma, bahwa jemaat Eropa adalah suatu beban yang berat bagi seorang pendeta-sending. Jemaat yang demikian dapat merupakan suatu pusat dan contoh yang baik, kalau "buah-buah Sending dapat dimasukkan ke dalamnya". Tetapi biasanya Jemaat-jemaat Indo merupakan "hambatan" bagi pekerjaan Sending. Makasar, menurut mereka, sama-sekali tidak cocok sebagai "pangkalan" pekerjaan Sending. Ketiga: Mereka juga setuju, bahwa bahasa yang harus dipakai dalam pekerjaan Sending bukan bahasa Melayu, tetapi bahasa Makasar: bahasa Makasar kaya akan kiasan-kiasan, sehingga mudah menarik perhatian pendengar-pendengar. Dalam pekerjaan ini dianjurkan supaya dipakai traktat-traktat yang akan disiapkan dalam bahasa Makasar.
Berdasarkan percakapan itu Donselaar (pada tahun 1858) menyusun dan mencetak suatu traktat dalam bahasa Makasar, yang memuat: Dasafirman; teks Yo 3:16: "Kasihilah Allah lebih dari segala sesuatu dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri"; Mazmur 1 dan doa Bapa Kami. Traktat itu segera disita oleh Gubernur di Makasar dan hal itu merupakan langkah pertama dari larangan untuk bekerja memberitakan Injil di antara penduduk pribumi. Tindakan Gubernur itu sangat mengherankan baik Donselaar, maupun Pengurus NZG di Belanda. Mereka protes. Tapi gubernur menolak permintaan Donselaar untuk ber-PI. Alasannya ialah: karena "orang-orang Makasar dan orang-orang Bugis adalah orang-orang Islam yang sangat fanatik, sehingga pekerjaan Sending di antara mereka dapat menimbulkan gangguan keamanan".
Indische Kerk di Makassar
Antara tahun 1910-1927 pendeta-pendeta Indische Kerk di jemaat Makassar dan Bonthain giat melakukan PI di wilayah-wilayah utara Sulawesi Selatan (Tana Toraja, Mamasa). Mereka manfaatkan kesempatan yang terbuka setelah penaklukan Belanda atas kerajaan-kerajaan Sulawesi Selatan untuk menginjil (dan membendung penyebaran Islam). Pdt. R.W.F Kijftenbelt (1865-1952) di Makassar dan Pendeta bantu Jonathan Kelling (1861-1922) yang bertugas di Bonthain (dan kemudian di Luwuk) membaptis di Makale (murid-murid sekolah), dan Mamasa (secara masal) Mereka juga mendirikan sekolah-sekolah dengan guru-guru dari Ambon dan Minahasa
Jemaat (Gemeente) didirikan dengan Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada tanggal 17 Oktober 1852. Jemaat ini merupakan bagian dari De Protestantsche Kerk in Nederlandsch Indie (Gereja Protestan Hindia Belanda) atau biasa disingkat "Indische Kerk". Pendeta gereja ini digaji oleh pemerintah dan demikian juga anggaran-anggaran lainnya untuk keperluan gereja disediakan oleh pemerintah.
Pada tanggal 15 September 1885, pendeta J.C Knuttel meresmikan pemakaian gedung gereja yang telah dibangun kembali, gedung ini resminya bernama "Prins Hendriks Kerk" (Gereja dari Pangeran Hendrik) namun umumnya disebut "Protestantsche Kerk" (Gereja Protestan) atau "Grote Kerk" (Gereja Besar), yang kemudian dikenal dengan nama "Gereja Immanuel".
Setelah reorganisasi Indische Kerk, jemaat Makassar menjadi jemaat GPIB. Pada tahun 1967 diputuskan untuk membagi jemaat di Makassar, yang wilayah pelayanannya sudah terlalu luas ini, menjadi 4 jemaat, yaitu : Jemaat Immanuel, Jemaat Bukit Zaitun, Jemaat Bethania dan Jemaat Mangngamaseang. Pada tahun 1983, Jemaat GPIB di Makassar bertambah satu lagi yaitu Jemaat Bahtera Kasih sehingga seluruhnya menjadi 5 jemaat.
B.F. Matthes
B.F. Matthes lahir tahun 1818, studi teologi dan sastra Semitik, 1848-1870 utusan NBG ke Sulawesi Selatan, 1876-1879 Direktur sekolah guru di Makassar; menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Makassar dan Bugis (PB 1887, PL 1900), menyusun Tata Bahasa (1858) dan Kamus (1859) bahasa Makassar dan Tata Bahasa Bugis (1879). Meninggal tahun 1908.
Pada tahun 1864 terbit hasil yang pertama dari pekerjaan Matthes: Injil Matius, baik dalam bahasa Makasar, maupun dalam bahasa Bugis. Tetapi penerimaan Injil di antara orang-orang Makasar dan orang-orang Bugis tidak menggembirakan. Sungguhpun demikian Lembaga Alkitab Belanda tidak mau menghentikan pekerjaannya di Sulawesi-Selatan.
Karena rupa-rupa sebab -- Lembaga Alkitab Belanda untuk sementara menghentikan pekerjaan penterjemahan Kitab Suci dalam bahasa Makasar dan bahasa Bugis. Dan, dengan persetujuan Matthes, ia mengusulkan kepada pemerintah, supaya pemerintah mendirikan sebuah lembaga pendidikan di Sulawesi-Selatan dengan Matthes sebagai pemimpin. Usul itu disetujui oleh pemerintah dan pada tahun 1873 ia memutuskan untuk mendirikan sebuah Sekolah Guru di Makasar dan untuk mengangkat Matthes sebagai direkturnya (1875-1880).
Pada tahun 1887 seluruh Perjanjian Baru selesai diterjemahkan (dalam bahasa Makasar dan bahasa Bugis) dan dicetak. Sesudah itu ia mulai dengan penterjemahan Perjanjian Lama dan sekalipun ia sudah sangat tua pada waktu itu, ia dapat menyelesaikannya pada akhir 1900. Dalam laporan Lembaga Alkitab Belanda tentang pekerjaannya selama tahun 1900 a.l. dikatakan: "Sesudah 50 tahun lamanya bekerja, Dr Matthes menyelesaikan penterjemahan seluruh Kitab Suci, baik dalam bahasa Makasar, maupun dalam bahasa Bugis".
Salah satu jasa penting Matthes adalah publikasi studi bahasa dan kebudayaan Bugis dan mengumpulkan naskah-naskah Lontara’, termasuk La Galigo.
Kemah Injil
Albert Benyamin Simpson (1843-1919), mendirikan The Christian and Missionary Alliance (C&MA) di New York, karena memberi perhatian pada para gelandangan – peminta-minta, pemabuk, pelacur, dan penganggur – sering tampak berkeliaran di sekitar gedung-gedung gereja yang mewah. Simpson merasa prihatin melihat mereka dan juga beberapa lingkungan di kota besar itu, yang penduduknya tidak pernah mengunjungi gereja mana pun. Simpson memberitakan Injil kepada mereka dan berhasil memenangkan beberapa orang di antaranya.
Ketika ia mengusulkan kepada Badan Pengurus Jemaat, agar sekitar 100 orang kristen baru ini diterima sebagai anggota resmi, usulnya itu ditolak. Alasan yang diberikan adalah bahwa orang-orang kristen baru ini berasal dari golongan masyarakat rendah.
Simpson mulai menyadari betapa sulitnya mencapai orang banyak kalau ia tetap berada di gerejanya. Setelah bergumul dalam doa selama satu minggu, Simpson akhirnya memutuskan untuk meminta izin keluar dari keanggotaan gerejanya dan menjadi penginjil lepas.
Yang paling penting bagi Simpson ialah PENGINJILAN, bukan pembangunan. Ia berpendapat, lebih baik dana yang ada dipakai untuk mengirim utusan-utusan Injil ke pelosok-pelosok bumi, ke tempat-tempat yang belum mendengar tentang Yesus Kristus daripada membangun rumah ibadat yang megah.
Inilah dasar pemikiran Simpson mendirikan dua buah rumah ibadat yang disebut kemah (tabernacle), Broadway Tabernacle (1876) di Louisville, dan the Gospel Tabernacle (1888) di New York. Dari sinilah asal-usul nama Kemah Injil atau the Gospel Tabernacle. Di New York, Simpson mengajarkan Injil Empat Berganda – yang sekarang menjadi Logo GKII yang mengandung makna: Yesus Juruselamat, Yesus Pengudus, Yesus Tabib, dan Yesus Raja yang akan datang (the Four Fold Gospel: "Jesus our Savior, Sanctifier, Healer, and Coming King".)
Robert Alexander Jaffray (1873-1945) seperti A.B. Simpson. Keduanya sama-sama keturunan Skotlandia, berkebangsaan Kanada, lahir dan dibesarkan dalam keluarga kristen, anggota Gereja Presbiterian. Keduanya juga sama-sama telah mendapat penglihatan khusus mengenai dunia – orang-orang yang belum percaya Yesus dan bertindak berdasarkan penglihatan mereka itu sehingga melalui pelayanan mereka, di kemudian hari beribu-ribu orang bertobat dan menerima Yesus Kristus sebagai Juruselamatnya.
Sejak dilantik menjadi utusan Injil pada tahun 1896, Jaffray melayani di Tiongkok Selatan selama kurang lebih 32 tahun; Jaffray mendirikan Chinese Foreign Mission Union (CFMU); berhasil menanam Gereja; membangun sekolah Alkitab yang berpusat di Wuchouw dan membangun lembaga penerbitan khususnya untuk komunitas yang berbahasa Kanton (Cantonese). Jaffray mulai perjalanannya ke Indonesia (kepulauan Hindia Belanda) dan menjejakkan kakinya di Borneo (Kalimantan) pada tanggal 10 Februari 1928 untuk mengadakan survey sekaligus memberitakan Injil.
Setelah kembali ke Tiongkok Selatan, maka untuk mewujudkan kerinduan Jaffray akan pelayanan dan tuaian yang sangat besar di Indonesia, terutama pelayanan yang diawalinya di Kalimantan – kota Samarinda dan Balikpapan. Pada bulan Februari 1929, Jaffray membawa dua hamba Tuhan yang diutus oleh CFMU, suatu organisasi penginjilan yang didirikan oleh Jaffray di Tiongkok Selatan yaitu: Yason S. Linn dan Paul R. Lenn – mereka adalah tamatan dari Wuchow Bible School - untuk membantu pelayanan yang dimulainya di kalangan orang Tionghoa di Kalimantan Timur dan kota Makassar, Sulawesi Selatan.
R.A. Jaffray menyadari bahwa pelayanan C&MA di Indonesia tidak dapat berkembang hanya dengan diawasi dari jauh. Karena itu, Jaffray memutuskan untuk menetap di Indonesia. Visi Jaffray untuk Indonesia sudah bulat yaitu menjangkau Indonesia melalui Penginjilan, Pendidikan dan Penerbitan.
Untuk menetapkan pusat pelayanan yang tepat, Jaffray segera mempelajari peta. Ia melihat bahwa kota pelabuhan Makassar sangat strategis secara geografis. Jaffray membayangkan kota itu seperti sebuah poros roda yang jari-jarinya kelak memancarkan terang Injil ke seluruh pelosok nusantara atau tanah air Indonesia. Akhirnya, pada bulan September 1930, Jaffray pindah ke Makassar dan menetapkan Makassar sebagai Pusat C&MA atau Kemah Injil yang pertama. Kantornya di rumah kediaman Jaffray sendiri, di Jalan Daeng Tompo No. 8. Di tempat inilah Jaffray meletakan fondasi dan mengembangkan ”sayap Injil” – ke seluruh Indonesia – dari Sabang di Sumatera sebelah barat sampai ke Merauke di Irian Jaya (Papua) sebelah timur.
(bersambung ….)
No comments:
Post a Comment