oleh Anwar Tjen
Berkali-kali saya mendapat pertanyaan dari warga gereja mengenai konsep
persepuluhan. Apakah persepuluhan itu memang wajib? Dan kalau wajib, apakah
memang persis 10% persen? Pertanyaan ini rupanya meresahkan sebagian warga
gereja yang dibingungkan dengan maraknya ajaran mengenai persepuluhan yang
mengartikannya secara harfiah. Di kalangan tertentu, bahkan terdengar nada
“peringatan” bahwa mereka yang tidak menyerahkan 10% dari seluruh pendapatannya
kepada gereja atau “hamba Tuhan” berarti mencuri uang Tuhan! Sebaliknya, mereka
yang menyerahkan betul-betul 10% dari penghasilannya diberkati secara
berlimpah-limpah. Tidak kalah pentingnya, ada yang mempertanyakan, kepada siapa
dan untuk apa saja sesungguhnya persepuluhan itu: untuk kegiatan gereja saja
atau malah kepada pendeta (atau “hamba Tuhan”) tanpa harus mempersoalkan
penggunaannya untuk tujuan yang spesifik. Bagaimana kalau persembahan itu
ditujukan langsung untuk menolong mereka yang membutuhkan pertolongan (bencana,
sakit, anak yatim piatu)?
Pertanyaan-pertanyaan seperti ini mendorong saya untuk mengedarkan secara lebih
luas makalah yang semula merupakan bahan pembinaan di beberapa jemaat di
Jakarta, antara lain, di Gereja Kristen Protestan Indonesia, Rawamangun,
Jakarta Timur (Maret 2006) dan Huria Kristen Batak Protestan, Tomang, Jakarta
Barat (2007). Sebagai seorang konsultan penerjemahan Alkitab yang sehari-hari
bergelut dengan pemahaman teks-teks firman Tuhan, bagi saya yang terpenting adalah
bahwa teks-teks itu dipahami secara utuh, tidak hanya secara harfiah atau
sepotong-potong tanpa mempertimbangkan konteksnya yang berbeda dan berubah
dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru.
Apa perlunya persembahan kepada Tuhan?
Pertanyaan awal yang sangat mendasar bagi kita adalah: Apakah Pencipta
langit dan bumi kekurangan apa-apa sehingga perlu dilayani dengan pemberian
dari manusia ciptaannya? Jawabnya: Sama sekali tidak! Baca Mzm 50.9-14; bnd.
ucapan rasul Paulus dalam Kis 17.24-25. Nas-nas ini sangat penting untuk
memahami apa hakikat persembahan itu. Kita memberi bukan karena Allah
kekurangan sesuatu. Persembahan umat Tuhan adalah ungkapan syukur terhadap
karya Allah yang membebaskan, memelihara dan memberkati umat-Nya, bukan upaya
untuk memenuhi kebutuhan Tuhan akan pujian apalagi materi.
Lagi pula, perlu kita garisbawahi, terkadang Tuhan menolak apa yang
dipersembahkan manusia jika pemberian itu hanya untuk menutup-nutupi berbagai
sikap dan tindakan munafik yang bertentangan dengan kehendak Tuhan. Dalam
pemberitaan para nabi, persembahan umat tidak jarang dikecam keras dan
dipandang memuakkan bagi-Nya (baca Yes 1.11-13; Am 4.4-5; 5.21-22). Ini dapat
terjadi jika persembahan yang disampaikan tidak merupakan persembahan yang
sungguh, yang mencerminkan hubungan yang benar antara si pemberi dengan
Pencipta dan sesamanya. Pada masa Amos, misalnya, umat begitu rajin beribadah
dan sekaligus rajin menjarah rakyat jelata yang tak berdaya.
Secara positif, tentu saja benar, kita juga membaca ratusan ayat Kitab Suci
yang menganjurkan dan memerintahkan umat Tuhan mempersembahkan kurban
kepada-Nya. Kita banyak menemukan perintah demikian dalam kitab Taurat,
khususnya kitab Imamat. Tuhan rupanya senang menerima persembahan syukur umat
-Nya (mis. Kel 22.29; Mzm 50.14; juga sebagian besar kitab Imamat). Sesudah air
bah, Nuh mempersembahkan kurban yang berkenan kepada Allah (Kej 8.20). Begitu
pula, ketika umat Israel dimerdekakan dari Mesir, salah satu alasan pokoknya
adalah agar mereka dapat mempersembahkan kurban kepada Tuhan (Kel 3.17-18;
8.27). .
Persepuluhan: Apa dan untuk apa?
Dalam konteks demikian, banyak orang Kristen kini menyoroti tentang
“perpuluhan” atau “persepuluhan” yang rupanya tidak diberlakukan lagi di
sebagian gereja. Konsep ini pertama kali disebutkan dalam Kej 14.17-20, yakni
ketika Abraham bertemu Melkisedek dan menyerahkan sepersepuluh (ma‘aser) dari
semua jarahannya (bnd. Ibr 7.1-10). Dalam Kej 28.22 kita juga membaca, Yakub
menazarkan persembahan sebesar sepersepuluh dari semua yang diberikan Tuhan.
Konsep persepuluhan seperti ini
tidak dapat dikatakan unik, hanya berlaku di Israel. Dalam teks-teks yang
ditemukan di dunia Timur Tengah kuno, kita dapat membaca bagaimana kuil-kuil
mendapat jatah sepersepuluh dari hasil tanah dan ternak yang memungkinkan
aktivitas ibadatnya terus berlangsung. Konsep inilah yang telah diadopsi dan
di”kudus”kan sebagai praktek umat Tuhan dalam PL, seperti persembahan hasil
tanah dan ternak yang kerap kali muncul dalam kitab Imamat (mis. 27.30-33) dan
Ulangan (mis. 14.22-23; juga 12, 14, 26).
Dalam kaitan ini, patut dicatat, ada perbedaan pemahaman mengenai sasaran
pemanfaatannya. Menurut Bil 18.20-32 persepuluhan diperuntukkan bagi orang Lewi
saja setiap tahun (bnd. Neh 14.44-45). Namun, menurut Ul 14.23 hasil
persepuluhan dari tanah dan ternak yang diberikan dalam dua tahun dimaksudkan
untuk dinikmati secara bersama oleh umat yang menyerahkannya. Orang Lewi turut
diundang ke jamuan bersama itu, karena suku ini tidak memperoleh milik pusaka.
Pada akhir tahun ketiga, (Ul 14.28-29; 26.12), hasil persepuluhan tidak hanya
diberikan kepada kaum Lewi, tetapi juga anak yatim, janda dan orang asing.
Persepuluhan sebagai “norma” hidup berkelimpahan?
Barangkali ayat yang paling terkenal dan paling sering dijadikan alasan
untuk memberi persepuluhan adalah Mal 3.6-11. Pada satu sisi, ayat ini memberi
ultimatum mengenai kelalaian dalam memberi persepuluhan untuk rumah Tuhan:
Semua yang tidak menyerahkan persepuluhan adalah orang yang menipu Allah!
(qaba, bisa juga berarti “merampok”). Di sisi lain, dengan nada yang luar biasa
optimis, kepada semua pemberi persepuluhan dijanjikan berkat berkelimpahan:
“Bawalah seluruh persembahan persepuluhan itu ... dan ujilah Aku ... apakah Aku
tidak membukakan bagimu tingkap-tingkap langit dan mencurahkan berkat kepadamu
sampai berkelimpahan?” Di kalangan gereja tertentu, nas ini sangat mendukung
teologi kemakmuran yang digembar-gemborkan. Memang ada kesaksian mengenai hidup
yang berkelimpahan oleh sebagian orang yang konsisten memberi persepuluhan,
tetapi patut dipertanyakan apakah kekurangan material merupakan akibat
kelalaian memberi persepuluhan yang merupakan hak Tuhan! Di sini teks seperti
Mal 3 harus dilihat bersama-sama teks lain dalam Alkitab.
Jika kemiskinan merupakan akibat ketidakadilan, seperti yang terjadi pada zaman
Amos, masalahnya jelaslah bukan terletak dalam soal memberi persepuluhan. Tidak
mengherankan, dalam kitab Amos, kita bahkan mendengar suara kritis mengenai
persepuluhan yang diberikan umat Tuhan: “Datanglah ke Betel dan lakukanlah
perbuatan jahat ... bawalah kurban persembahanmu pada waktu pagi, dan
persembahan persepuluhanmu pada hari yang ketiga! ... Bukankah yang demikian
kamu sukai hai orang Israel?” Persembahan sepersepuluh pun menjadi praktek yang
dikecam Tuhan jika hidup umat-Nya tidak sesuai dengan kasih setia (khesed)
Tuhan yang harus pula terwujud dalam hubungan horizontal dengan sesama.
Analoginya, boleh-boleh saja, orang memberi sepersepuluh hasil korupsi dan
eksploitasi yang menyengsarakan rakyat kepada gereja yang membutuhkan dana,
tetapi dalam semangat pemberitaan Amos, praktek demikian sama memuakkan bagi
Tuhan seperti ibadah-ibadah megah yang digelar tak habis-habisnya pada masa
itu.
Mengapa persepuluhan “menghilang” dari ajaran PB?
Jika kita beralih ke Perjanjian Baru, harus diakui, tidak banyak ditemukan
referensi tentang persembahan persepuluhan kecuali dalam dua konteks: (i)
kecaman Yesus terhadap orang Farisi yang rajin memberi persepuluhan tetapi
mengabaikan “keadilan dan belas kasihan dan kesetiaan” (Mat 23.23; Luk 11.42);
(ii) keimaman Melkisedek yang menerima dari Abraham “sepersepuluh dari segala
rampasan”. Yang menjadi fokus adalah keunggulan jabatan imam Melkisedek yang
merupakan gambaran Kristus, imam yang sempurna.
Dapat disimpulkan, persepuluhan sebagai kewajiban kepada orang yang
berkekurangan dan kaum Lewi yang tidak punya tanah dan pekerjaan lain kecuali
mengajar dan menyelenggarakan ibadah tidak lagi menjadi norma baku dalam ajaran
PB. Malah, seperti kritik para nabi, Yesus juga menegaskan, yang dikehendaki
Tuhan bukan persembahan tetapi belas kasihan (Mat 9.13; 12.7). Itu diucapkan
dalam konteks pelanggaran ajaran Taurat yang dipegang ketat oleh orang Farisi.
Lagi pula, dalam konteks pemberian persembahan dalam bentuk uang di Bait Suci,
komentar Yesus tentang persembahan kecil seorang janda melampaui sekedar
pemberian sepersepuluh hasil bumi atau ternak: “janda ini memberi dari
kekurangannya” (Mrk 12.41-44; Luk 21.1-4).
Kalau bukan persepuluhan, apa yang harus dipersembahkan?
Pertanyaan yang relevan untuk umat percaya masa kini adalah: Bagaimana kita
memahami tentang persembahan jika konsep persepuluhan tidak lagi menjadi norma
baku bagi jemaat Kristen mula-mula? Di satu sisi, kita melihat perluasan makna
persembahan dalam dimensi etisnya. Dalam Rm 12.1 Paulus menyerukan agar umat
Kristen di Roma mempersembahkan tubuh mereka sebagai “persembahan yang hidup,
yang kudus dan yang berkenan kepada Allah”. Demikian pula, dalam 1 Ptr 2.5 kita
temukan ajaran mengenai “imamat am” orang percaya yang sebagai imam
“mempersembahkan persembahan rohani yang karena Yesus Kristus berkenan kepada
Allah”. Kedua nas ini pada dasarnya mengacu kepada kehidupan konkret sebagai
wujud ibadah yang benar.
Di sisi lain, makna persembahan juga diberi terjemahan konkret dalam arti
memberi secara material dari kemurahan hati. Kita membaca ajaran Yesus yang
tidak terdapat dalam kitab-kitab Injil tetapi dicatat dalam Kis 20.35 bahwa
lebih berbahagia memberi daripada menerima. Paulus dalam konteks ini sedang berbicara
mengenai pelayanan sendiri yang dibiayai dengan tangan sendiri, walaupun
sebagai pekerja Kristus, ia berhak menerima hasil pelayanannya secara material
sebagaimana ditetapkan Tuhan sendiri (bnd. 1 Kor 9.14).
Dalam kaitan ini, kita harus
menyebut pengumpulan uang untuk keperluan “orang-orang kudus” yang sering
disebutkan dalam surat-surat Paulus (Rm 15.25-32; 2 Kor 8-9). Paulus menyebut
jemaat Makedonia sebagai teladan: “sangat miskin namun mereka kaya dalam
kemurahan” (2 Kor 8.2). Apa yang mereka upayakan mirip dengan yang telah
dilakukan janda miskin di Bait Suci: “mereka telah memberi menurut kemampuan
mereka, bahkan melampaui kemampuan mereka” (8.3).
Penutup: Dari anugerah kepada anugerah!
Asas terpenting dalam pemberian yang murah hati itu adalah pengenalan akan
kasih karunia (kharis) Tuhan Yesus Kristus yang “oleh karena kamu menjadi
miskin, sekalipun Ia kaya, supaya kamu menjadi kaya oleh karena kemiskinan-Nya”
(2 Kor 8.9). Itulah sebabnya pengumpulan uang sebagai wujud kesadaran akan
anugerah Kristus itu dinamakan kharis “karya anugerah”![1] Hasil yang diharapkan
dilihat sebagai upaya untuk mencapai keseimbangan (isotetos) antara yang
berlimpah dan yang berkekurangan. Untuk itu Paulus mengutip nas PL dari
pencurahan manna kepada umat Israel di padang gurun (2 Kor 8.15; Kel 16.18).
Walaupun semangatnya berbeda dengan Mal 3 yang berisi ancaman Tuhan, kita
membaca pesan yang serupa bahwa apa yang ditabur dengan kerelaan sebanding dengan
apa yang dituai dengan sukacita. Dasarnya adalah kasih dan berkat Allah: “Allah
mengasihi orang yang memberi dengan sukacita dan Allah sanggup melimpahkan
sebaga kasih karunia kepada kamu, supaya kamu senantiasa berkecukupan di dalam
segala sesuatu dan malah berlebihan di dalam pelbagai kebajikan” (2 Kor 9.6-9).
Yang harus dihindarkan, seperti ditegaskan Paulus, adalah keterpaksaan! (9.5,
7; Fil 1.14).
Dalam kaitan ini, patut dicatat,
walaupun Paulus menyatakan tidak ingin membebani siapa pun untuk mengabarkan
Injil, toh dia mengakui menerima bantuan jemaat-jemaat yang pernah dilayaninya.
Yang paling penting lagi, lebih daripada sekedar pemberian material itu, Paulus
melihatnya sebagai “persembahan yang harum, suatu kurban yang disukai dan
berkenan kepada Allah” (Flp 4.18). Ini sekaligus merupakan dasar teologis bagi
pemberian jemaat kita dalam rangka menafkahi para pelayannya.
Bagaimana kita mengerti persembahan dalam konteks jemaat kita? Jelaslah, tidak
dalam semangat legalistis sebagai Taurat baru! Konsep seperti “persepuluhan”
tidak perlu diterapkan norma yang mengikat, walaupun sebenarnya dapat dipakai
sebagai model untuk menolong jemaat dalam menentukan bagian yang akan
diberikan. Dari sudut praktisnya, tentu saja konsep demikian – yang tidak harus
diartikan secara harfiah 10% – dapat menolong kita mengatasi kelemahan
manusiawi kita seperti yang disebutkan Kristus: “di mana hartamu berada, di
situ juga hatimu berada” (Mat 6.21). Dengan meng”aman”kan bagian tertentu,
sesuai dengan kerelaan hati kita, pemberian dapat dilakukan tanpa
bersungut-sungut dan dengan penuh ucapan syukur. Sebab, “Allah mengasihi orang
yang memberi dengan sukacita!”[2]
--- Kamis, 29 Mei 2008
Dr. Anwar Tjen melayani sebagai
pendeta di Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI, berpusat di
Pematangsiantar) dan konsultan ahli di Lembaga Alkitab Indonesia (LAI). Studi
lanjut dalam filologi dan tafsir Kitab Suci di Union Theological Seminary in
Virginia, USA (Th.M./1995), Pontificium Institutum Biblicum, Roma (1997-98),
Ecole Biblique, Yerusalem, Universitas Tesalonika, Yunani (2000). Menyelesaikan
studi doktoral di Fakultas Studi Oriental, Cambridge University, UK (PhD/2003),
dengan disertasi mengenai Septuaginta, yakni Kitab Suci Ibrani yang pertama
kali diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani. Studi komplementer dalam bidang
linguistik di Australian National University, Canberra (GradDipl/2007).