1. Sistem
presbiterial-sinodal bertumpu pada beberapa prinsip:
a. Jemaat
(gereja setempat) adalah wujud yang utuh dan lengkap gereja Tuhan di dalam
dunia.
b. Jemaat
dipimpin oleh Majelis Jemaat, yaitu para pejabat yang dipilih/ditempatkan dalam
jemaat itu. Para pejabat gereja meliputi penatua, diaken dan pendeta. Rapat
Majelis Jemaat adalah lembaga tertinggi dalam jemaat.
c. Jemaat-jemaat
bersepakat untuk bergabung dalam satu sinode, yang dipimpin bersama oleh
Majelis Gereja yang diperluas (=Majelis Sinode), yang dipilih oleh persidangan
para utusan Majelis Jemaat yang tergabung (=Persidangan Sinode). Wewenang dan
kewajiban Majelis Sinode ditentukan oleh Persidangan Sinode. Demikian pula
pembentukan suatu Klasis oleh kesepakatan jemaat-jemaat, dengan wewenang dan
kewajiban yang ditetapkan dalam persidangannya.
d. Jemaat,
Klasis dan Sinode bukan satuan-satuan keorganisasian yang berjenjang, melainkan
menyangkut kewenangan dan kewajiban pelayanan yang lebih luas. Karena sifatnya
sebagai Jemaat yang diperluas, maka personalia Majelis Pengurus Klasis dan
Majelis Pengurus Sinode haruslah dipilih pejabat gereja. Personalia yang
kemudian tidak lagi menjadi pejabat di jemaatnya dapat ditetapkan sebagai
pejabat gereja (penatua atau diaken) ex-officio.
2. Jabatan
gereja berdasar pada prinsip imamat am orang percaya. Seluruh warga gereja
adalah imam (pelaksana panggilan/pelayanan gereja; 1 Pet 2: 5, 9; Why 1:6,
5:10, 20:6; band. Yesus sebagai Imam Besar Agung dalam Surat Ibrani), sedangkan
para pejabat berfusngsi untuk memperlengkapi (=membekali) warga gereja untuk
menjalankan tugasnya.
3. Sebagaimana
sistem presbiterial-sinodal, jabatan pendeta, penatua dan diaken
diperkembangkan oleh Calvin dan para pengikutnya pada masa Reformasi. Ketiga
jabatan setara namun berbeda dalam fungsinya. Pendeta untuk pemberitaan
Firman, pelayanan sakramen, dan
penggembalaan. Penatua untuk pelayanan Firman dan penggembalaan; sedangkan
diaken khusus untuk pelayanan diakonia (di dalam dan di luar gereja).
4. Jabatan
gereja, termasuk jabatan pendeta, tidak terikat pada seseorang seumur hidup, melainkan
sesuai mandat pelayanan gereja. Seseorang diteguhkan karena kesediaannya untuk
menjalankan panggilan di dalam gereja. Seorang pendeta yang meninggalkan gereja
– karena memilih pekerjaan lain di luar gereja, atau karena diberhentikan --
otomatis jabatannya gugur. Seorang pendeta yang melakukan tugasnya sampai
pensiun mendapat hak untuk tetap memakai gelar dan menjalankan tugas jabatannya
sebagai pendeta emeritus.
5. Seorang
pemimpin kebaktian jemaat, mendapat mandat dari Majelis Jemaat, yang dinyatakan
melalui penyerahan Alkitab dan jabat tangan presbiterial pada awal kebaktian di
depan jemaat. Berkat yang disampaikan oleh pendeta atau oleh penatua oleh
pemimpin kebaktian itu adalah berkat yang sama, tidak kurang, tidak lebih.
Berkat yang disampaikan pendeta sama dengan yang disampaikan penatua atau
diaken. Karena itu tidak perlu membedakannya dalam liturgi, baik pengucapannya
(kamu, kita) maupun boleh tidak bolehnya mengangkat tangan tanda memberkati.
Gereja kita tidak menganut akta liturgis pemberkatan sebagai pemberian
(=impartation) melainkan pernyataan (=maklumat) berkat, dalam hal ini pejabat
gereja menyatakan bahwa sesuai janji-Nya, Tuhan hadir, menyertai, menguatkan
warga jemaat dalam kehidupan mereka. Berkat itu bukan dari diri pendeta atau
pejabat gereja melainkan dari Tuhan. Pejabat gereja menyampaikannya.
6. Demikian
juga mengenai pemberkatan nikah. Gereja atau pejabat gereja tidak “memberi”
berkat atas perkawinan, melainkan menyatakan atau menyampaikan bahwa Tuhan
hadir, menyertai, menguatkan pasangan pengantin itu dalam menjalani lika-liku
perjalanan atau ombak-gelombang pelayaran bahtera rumah tangga mereka.
7. Bagaimana
dengan pemberkatan nikah warga jemaat yang bercerai (menceraikan atau
diceraikan)? Pertama-tama harus jelas bagaimana sikap gereja terhadap pelayanan
warga jemaat yang bercerai? Apakah dikucilkan? Atau mungkin beberapa lamanya
digembalakan lalu diterima “normal” sama seperti warga jemaat lainnya? Apakah
pernikahannya yang baru itu diakui sebagai pernikahan Kristen? Atau gereja sama
sekali menolak? Kalau gereja menerima untuk memberkati nikah warganya yang bercerai
itu maka pemberkatannya juga harus merupakan pemberkatan yang normal,
sebagaimana pemberkatan pasangan yang baru. Sebaiknya gereja mengatur dengan
baik bahwa walaupun gereja menolak perceraian, namun jika suatu perceraian
telah melalui proses perceraian yang sah secara hukum, maka jika yang
bersangkutan menikah maka gereja dapat melayaninya. Yang perlu diatur juga
adalah jangan menikahkan pasangan yang hanya menumpang lewat, tanpa kelengkapan
administrasi, baik administrasi gereja maupun pemerintah.
Demikian beberapa pokok pikiran. Semoga
bermanfaat.
Zakaria Ngelow
No comments:
Post a Comment